25. Too Young II •

170 8 0
                                    

Terlalu Muda II

Dibenci, dibenci, dan dibenci yang mana selalu terlintas di kepalaku.

Satu kata yang bisa mendeskripsikan hari-hariku yaitu 'sesak'. Aku merasa segalanya seperti dibatasi. Hidupku selalu diminta untuk memilih berbagai macam cara tetapi cara itu nyatanya tidak ada. Aku terlalu muda untuk berpikir keras mencari solusi yang tepat sekaligus diterima. Kulihat sekeliling seperti membenciku, mereka menatapku dengan wajah dingin tak henti-hentinya. Aku merasa tidak seperti anak-anak kebanyakan. Jika waktu mereka biasanya banyak dilakukan di luar, sementara aku hanya lah di bawah payung rumah yang hendak roboh. Kucoba keluar dan meminta pertolongan, tapi yang kudapatkan hanyalah penolakan dan kegelapan. Seiring berjalannya waktu, aku juga merasa cepat marah dan tidak sabar ketika mendengar suatu yang konyol. Benar, itu seperti mengejekku setelah sekian lama mencoba mencari kebahagiaan yang aku idam-idamkan.

Di kepalaku pun lantas terisi oleh berbagai macam imajinasi yang seringkali menuntunku untuk merencanakan hal-hal yang bertolak belakang dengan kenyataan mengenaskan ini. Aku hanya ingin punya rumah yang layak, baju yang bagus, membeli barang-barang yang menunjang hobiku, dan mendobrak pintu kemiskinan ini selebar-lebarnya. Aku mungkin anak yang berprestasi di sekolah, tapi ini tak serta-merta  membuatku leluasa meraih mimpi-mimpi itu dengan mudah. Bukan seperti itu....

Kau itu belajar terus karena miskin, bukan?

Tidak, aku hanya merasa dunia ini seperti membenciku.

Sebenarnya, di samping menggemari belajar bahasa asing, aku juga sangat tertarik dengan dunia kuliner. Tanpa banyak pusing lagi, alhasil kugunakan lah sisa uang beasiswaku untuk mendaftar kursus di bidang kuliner itu. English for Specific Purposes namanya, bahasa Inggris yang berfungsi sebagai alat komunikasi dalam bidang atau pekerjaan tertentu. Misalnya saja dalam bidang kuliner, pastinya nanti akan ada kosakata bahasa Inggris yang berkaitan dengan kuliner atau chef dan lain sebagainya. Memang cukup mahal, tapi aku pun mencoba mempercepat masa belajarku di sana dengan mengambil waktu sekitar tiga bulan saja baru kemudian memutuskan untuk berbisnis kuliner makanan sekaligus bisa mempromosikannya dengan membangun kursus yang sama di bidang itu. 

Kemudian, untuk membangun gedung Vanrevco dan Vey Course uangnya dari mana? Jadi, saat umurku menginjak 22 tahun, aku sempat membuka bisnis makanan gerobak dan dibantu kakek Harry. Pun, kualihkan semua bahan-bahan bangunan yang ternyata secara sembunyi-sembunyi telah mendiang ayah dan ibu beli secara tanpa sepengetahuanku itu untuk dibangun sebuah tempat kursus.

"Mereka membeli ini, Kek? Uang dari mana?

"Iya, katanya akan dibangun rumah setelah kau lulus SMA. Untuk uang kakek tidak tahu, kan bisa saja mereka punya tabungan yang tak siapa pun tahu."

"Rumah? Bagaimana bisa? tanpa mereka di sini?"

Jadi, sepeninggal kedua orang tuaku, inisiatif untuk membangun gedung kursus pun bukan lah ide yang buruk. Ini terbilang berat, tapi kurasa aku hanya perlu membobol benteng ketakutanku saja. Beberapa hari selanjutnya, dengan restu kakek Harry, akhirnya aku pun bisa membangun tempat kursus itu. Bukan bangunan yang nampak megah dengan dinding kaca di berbagai sudutnya, hanya saja berbentuk seperti pondok biasa. Aku pun hanya mampu bersyukur, karena seiring berjalannya waktu, banyak dana masuk dari beberapa sponsor dan donatur. Hal demikianlah yang membuat tempat kursus ini mengalami renovasi berulang kali juga.

Namun ... sebenarnya aku agak kurang setuju ketika banyak yang mengagumi kesuksesanku saja. Sial memang, mereka hanya melihat sisi terangku saja tanpa menengok jerih payah yang kukerahkan setiap detik, menit, jam, hari, bulan, hingga tahun. Aku memang berbakat, tetapi aku juga pekerja keras. Berbakat saja tak akan membuatku sukses tanpa pengorbanan darah, keringat, dan air mataku ini.

Selanjutnya, di tahun 2019 aku memang sempat mengalami kecelakaan parah yang mana membuatku terkulai karena operasi di bagian kaki dan lenganku, sungguh, tapi dengan kejadian ini menyadarkanku bahwasanya Tuhan akan selalu mendatangkan hal-hal yang baru dan di luar dugaanku. Tak bisa dipungkiri memang, karena itu terjadi begitu saja di sehari setelah acara wisudaku yang mana harusnya aku baik-baik saja supaya lancar dalam mencari pekerjaan setelah itu.

Aku tidak tahu pasti sebenarnya, tapi entah mengapa aku seperti tak asing dengan yang ada di seberang mataku sekarang. Dari balik jendela kamar rumah sakit ini, dengan ketidakpastian yang mengikuti memoriku terlihat seorang anak SMA yang selalu membawa ukulele di tangannya itu. Anak itu ... ia terlihat seperti sedang menyanyikan beberapa lagu yang mana membuat para pasien di sana terhibur. Tak bisa mengelak memang, ternyata anak tersebut memang memiliki suara yang sangat bagus.

"Malang sekali, apa benar dia hidup sebatang kara tanpa ayah dan ibu juga?" gumamku pelan masih mendengarkan anak itu bernyanyi di depan beberapa pasien yang ada di sana.

....

"Ya, sudah, berhubung besok terakhir aku di sini kau boleh mampir langsung ke alamatku ...."

"Iya, kah? Sebenarnya ... aku memang sedang butuh uang. Ya sudah, terima kasih, Bang."

"Sebentar, kau dibayar rumah sakit ini untuk menyanyi di hadapan mereka tadi?"

"Hmm, iya. Dibayar kok."

REVAN POV end.

"Jadi, Rio itu ...." kata Genda sambil menopang dagunya. Revan pun lantas mengangguk mengerti dengan pernyataan Genda.

"Omong-omong ... terima kasih sudah mendengarkanku. Ah, bagaimana kalau kita ke toko grosir? Beberapa bahan masakan dan camilan di apartemen sudah habis, bukan? kata Revan sembari beranjak dari kursinya.

"...."

"Ayo! Jangan melamun seperti itu," ajak Revan tak sabar sambil menarik lengan Genda paksa.

Setelah berjalan ke tiap bilik rak, sebenarnya Genda seperti melihat gerak-gerik mencurigakan seseorang sedari tadi. Orang itu pun sesekali membenarkan topinya berkali-kali takut-takut diketahui oleh gadis itu. Wajahnya juga tertutup oleh masker berwarna hitam dan begitu jelas postur tubuhnya yang sangat tinggi.

"Tunggu!" pekik Genda pelan, dan membuat Revan yang sedang mengambil uang di ATM menoleh sekilas ke belakang.  

Pemuda misterius itu pun lantas berhenti juga, ia merasa tas punggungnya ditarik kuat oleh gadis itu.

"Maaf, kau menjatuhkan ini."

Degggg!!

TBC

Hai, aku update!! Jangan lupa vote dan komennya, ya! Mungkin beberapa sudah pergi, karena aku jarang update. Huhu.

Gomawo. Semangat, semuanya! 

Fall on Deaf Ears (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang