Sulit Dimengerti
"Wah, yang sebentar lagi akan menikah." Sepasang suami isteri dengan uban yang merata pun menunjukkan perasaan bahagia karena cucu kesayangan mereka itu akan melepas masa lajangnya.
"Awas, minggir, aku tak butuh itu!" Miris, John lantas menepis pelan perlakuan sok manis di depannya itu. Bayangannya pun merembet ke nasib Revan—sepupunya—ia juga merasa jika sepupunya itu seringkali mendapatkan perlakuan tak baik dari sini. John lah yang menyaksikan semuanya. John di sini memang seperti cucu kesayangan, tetapi di balik itu semua John sungguh tidak menginginkannya. John mungkin lebih baik daripada Revan. Namun, sebenarnya ia juga tak kalah menyedihkannya dari Revan. Untuk sekarang mungkin ia kan lebih memilih tinggal di hutan ketimbang dengan orang-orang yang ada di rumahnya itu. Ia benar-benar tak berdaya menghadapi masalahnya sendirian dan dalam keadaan Revan juga yang masih salah paham tentang dirinya.
"Kau kenapa, John!" gertak Parvez, kakeknya itu—nampak seperti tak menunjukkan ekspresi exited sama sekali.
"Aku lelah, jangan ganggu aku," balas John malas. Ia pun perlahan menuju ke kamarnya lesu. Menatap kemudian meremas bergantian polaroid kedua orang tuanya, Irza dan Silfi. Tinggal di rumah itu terasa seperti neraka baginya, walaupun suatu saat ia tidak ingin masuk ke sana. John pun hanya bisa berharap, kakek, nenek, dan orang tuanya mau merubah sikapnya, dari yang abusive dan merugikan orang lain menjadi lebih baik kedepannya.
Hanya itu mimpi kecilnya, John memang terkadang suka iri saat melihat teman-temannya memiliki keluarga yang harmonis.
Keluarga bukanlah harta yang bisa dibeli dengan uang, ia akan muncul dengan sendiri tanpa membelinya. Tapi bagaimana pun juga, yang gratis juga belum tentu gratis.
Kata orang sih harusnya ia bersyukur, tapi John hanya merasa tak ada keadilan dalam hidupnya. Keluarga itu sesuatu yang tidak bisa dibeli, tapi kenapa John harus membelinya dengan darah, keringat, dan air matanya itu? Seperti sekarang ini, telinganya berdenging mendengar umpatan tak mengenakkan yang membuatnya semakin kesakitan tinggal di rumah sana. Parvez, Utari, dan orang tuanya sendiri suka memperdebatkan kelakuan mereka sendiri yang tentunya sangat berdosa.
"Irza! Kau bodoh sekali hah?" siapa yang
membakar restoran itu?" Parvez kini nampak tersulut api setan dalam dirinya."Anak buahku, Yah." jawab Irza dengan
menunduk."KAU INI BENAR-BENAR TIDAK BERGUNA SEKALI!" Pria tua itu pun berdecih. Sangat tidak menyadari jika jumlah umurnya itu bisa menjadi sarang kematiannya.
"Maafkan aku, Yah." Irza semakin menunduk tak berani menatap orang tuanya itu. Sementara Silfi, ia juga melakukan hal yang sama seperti suaminya itu.
BRAK!!! Pria tua itu pun lantas menggebrak meja yang ada di sana.
"Bagaimana jika Eddy tahu, hah!" Parvez tidak bisa dibohongi. Ia malah melihat titik kebenaran dimana yang membakar restoran Revan bukan anak buahnya.
Tapi, malah anaknya sendiri.
"Tidak bisa dipercaya!" imbuh Utari murka.
"..." Irza malah diam menelan kebodohannya. Nampak jelas jika ia bodoh dan semakin dibodohi sama yang bodoh pula.
"Ohh, jadi memang kau yang melakukan ini?" Parvez nampak berkacak pinggang.
"Tapi, ini kan memang rencana kita berempat, Yah."
Bughh!!!
Sementara John yang ada di kamarnya,
"Ini bukan keluarga, melainkan sekumpulan orang yang tersesat."
KAMU SEDANG MEMBACA
Fall on Deaf Ears (COMPLETED)
Fiksi PenggemarHujan bukanlah bencana, melainkan secuplik kisah pahit yang sekian lama tidak dilihat ataupun didengarkan. ◉ Revisi setelah selesai. ✓ ◉ Dilarang plagiat, apalagi report ⚠. Belajar menghargai sesama penulis. Menulis cerita itu tak semudah membalikka...