31. Vaguely •

117 6 0
                                    

Samar-samar

"Oh, jadi memang suka, ya, sama Kayla, John?" Revan lantas menoleh ke arah dua sejoli itu yang memang sedari tadi dalam posisi berpelukan. Bibir tebalnya pun nampak tersenyum miring tanda mengejek sekaligus heran.

"Apa maumu?" ujar John kesal.

"Kau pikir aku tidak tahu apa?" Revan pun menyeringai. Suhu di ruangan itu pun seolah berubah memanas karena dipenuhi oleh ego masing-masing pihak. 

"Kayla tidak salah!" protes John tak terima.

"Kalau bukan dia siapa? Siapa John! katakan! Katakan siapa yang membunuh orang tuaku dan yang membakar restoranku! Ayah dan ibuku tak pernah ada niatan untuk bunuh diri! Dosa macam apa yang Kayla lakukan hingga menebusnya sampai susah payah menikah denganmu? Kalau kau yakin itu bukan karena Kayla yang melakukan lantas siapa!" cecar Revan dan semuanya langsung menatap pemuda itu dengan penuh tanda tanya. 

"Jangan sok peduli denganku. Setidaknya aku sudah merelakan Genda untukmu," balas John tapi dengan tatapan lurus ke depan.

"Kau masih tak paham maksudku, John? Apa ini semacam pelampiasan karena kau masih mencintai Genda?" geram Revan karena John seperti pasrah dan tak ingin memberontak. Tak lain dan tak bukan pemuda tersebut hanya ingin meminta kepastian saja. 

Diam.

Tercium aroma emosi kekecewaan yang kuat dari dalam batin mereka masing-masing. Semuanya merasa tersakiti karena telah mengambil keputusan yang salah. Keputusan sebagaimana membuat semuanya menjadi bingung dan harus mencari celah mana yang harus ditambal terlebih dahulu. Sebuah penyesalan dari dalam masing-masing hanya karena memilih egois ketimbang saling memaafkan.

Flashback on:

Revan POV:

Revan lantas diantar Eddy sampai rumah, tapi sesaat tiba di sana, ia malah dikejutkan dengan rumah anak itu yang seperti sudah tidak layak huni. Sebenarnya posisi rumah itu seperti berdempetan dengan bangunan di sampingnya. Namun, menurut Eddy, rumah itu hanyalah sepetak tanah sempit yang terpaksa didirikan bangunan karena suatu alasan mendesak.

Anak kecil itu pun lantas tersenyum lebar dan melambaikan tangan pada Eddy.

Brakk!!

Eddy pun kemudian mendengar sayup-sayup keributan dari rumah itu.

"Paman, yang kiri rumah Revan, sementara yang kanan rumah nenek dan kakek. Maaf, kalau rumah Revan kecil dan mau roboh," kata Revan kecil sambil menunjukkan senyuman kotak miliknya itu.

Eddy hanya tersenyum simpul. "Ngomong-ngomong, siapa nama ayah dan ibumu, heum?" penasaran Eddy.

"Ayahku Reyhan dan ibuku Anggita."

"Irza! Biarkan Reyhan yang membayar utangmu!" satu kalimat lantas memekakkan gendang telinga Eddy lagi sebelum ia masuk ke mobilnya. Sangat jelas sekali sampai terdengar ke luar rumah itu.

"Hiufth, kasihan sekali anak itu," gumam Eddy pelan.

"Bibi! Kenapa tak menjemput Revan. Revan kedinginan di jalan," sungut Revan pada Silfi dan ibunya sontak kaget mendengar hal itu.

"Maafkan ibu, Nak. Ibu harus beres-beres di rumah ini jadi tak bisa menjemputmu," imbuh Anggita.

"Bohong! Ibumu hanya di kamar tadi karena depresi telah melahirkanmu selama ini, Rev! Gara-gara kamu lahir di dunia ini ibumu itu jadi stress. Ia menyesal melahirkanmu!" gertak Silfi tepat di wajah anak itu yang perlahan akan mengeluarkan bulir matanya.

Fall on Deaf Ears (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang