35. Dilemma •

26 4 0
                                    

Pilihan Sulit

7 September, 2015

"Hei! Kau mencari 10 IPS 2, ya!" sahut seseorang tiba-tiba dan saat itu juga lantas menghentikan langkahku. 

"Aku?" Aku pun lantas menoleh ke belakang dan memastikan jika ia memang memanggilku dengan memperhatikan sekeliling yang mana hanya ada aku di koridor sana.

"Iya, aku antar kamu ke sana tapi kau juga harus menemaniku ke ruang TU mengambil tinta spidol," katanya sambil menyodorkan dua alat tulis itu.

"Sebentar, kau Rio, bukan?" tanyaku karena merasa tak asing dan ternyata dia adalah cowok yang satu grup saat kita MOS bulan lalu. Cowok yang khas dengan ukulele yang ia selalu bawa kala itu.

"Nah, kau ingat juga," jawabnya sambil tersenyum simpul.

"Oh, oke. Kita ke bawah, kan?''

"Ya.''

Kegiatan belajar pun dimulai, jadi di SMA ini para siswa diperuntukkan untuk duduk sebangku satu anak. Nah, di saat itu juga aku duduk tepat di depan Rio, dan dia di paling belakang. Ah, kurasa dari sekian manusia di kelas pun orang yang baru kukenal hanya dia. Sebenarnya sedari tadi agak risih, karena beberapa cowok di kelas sesekali melirik ke arahku dengan tatapan menggoda.

"Lihat, dia cantik banget."

"Kagak nyangka ada bidadari di kelas kita."

"Bakal jadi saingan sama kakel sih ini."

Braakk! "Hei, culun! Jangan dekati cewek aku!" seseorang pun tiba-tiba menggebrak pintu kelas aku. Semua yang ada di sana lantas terdiam, ah, aku tahu ya pastinya kalau tiap sekolah pasti kan ada cowok model begini, si paling berkuasa. Semua yang ada di kelas pun lantas menatap anak ini kagum, ya terkhusus para teman-teman cewek.

"Siapa dia?" bisikku pada Rio. Sementara kami masih duduk dan tak menghiraukan cowok yang mana dari lagatnya saja sangat sok itu.

"Hai, cantik. Mulai sekarang kau jadi pacarku." Kaget setengah mati, aku tak tahu ada angin atau hujan tiba-tiba ini orang berbicara seperti itu. Ya, bahkan ini hari pertama sekolah, aku sama sekali tak kenal sama nih cowok.

"Maaf, aku tidak kenal denganmu," jawabku seadanya.

"Kenalin, aku John Ravi Mahardika. Panggil saja John, nanti sehabis ini aku antar pulang ke rumahmu."

"Tidak, aku tidak mau."

"Kalau tidak ...." Ia pun menggantungkan ucapannya dan melirik sekilas ke arah Rio.

"Teman culunmu ini mati di tanganku."

"Jangan ganggu kami. Mati katamu? Kau apa sedang mengkhayal? Umur segini itu untuk belajar bukan malah ngawur seperti itu. Maaf, kami tidak ingin berhubungan dengan berandal sepertimu itu!"

"Oke, kalau begitu kau akan lihat saja besok."

Jadwal piket pun sudah diatur sejak minggu sebelumnya di grup WhatsApp kelas. Untuk jatahnya, aku kebetulan bareng Rio, sebenarnya ada satu anak lagi hanya saja dia tidak berangkat. Sehabis jam pelajaran usai, aku dan Rio lantas menyapu, menghapus papan tulis, membuang tong sampah, dan mengembalikan buku juga ke perpustakaan. Hari itu sudah sepi, tinggal kami berdua dan beberapa guru di kantor.

Sebenarnya, di sekolah sampai sore pun tidak apa-apa, yang terpenting sampai jam lima saja. Beberapa satpam juga masih berjaga di sana. Setelah aku dan Rio membersihkan kelas, kami pun lantas duduk di bawah pohon kelengkeng sambil menikmati angin sore. Suasananya memang agak mendung, ada juga kabut yang menyelimuti lapangan. Jadi, posisinya pohon kelengkeng itu di atas, dan lapangan basketnya ada di bawah. Ya, sekolah ini bidang tanahnya dibuat seperti berundak-undak seperti itu. Untuk paling bawah untuk kelas 10, kemudian tengah untuk kelas 11, dan paling atas khusus kelas 12.

Fall on Deaf Ears (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang