Terlalu Muda I
20.34
"Mau ke mana, Gen?" cegat Rio yang mana melihat Genda sudah sangat rapih dan keluar dari pintu unit kamar apartemennya itu.
"Cuma sebentar, kok."
"Ikut boleh?"
"Tidak, aku hanya ingin sendiri."
"Tapi, Gen."
"Aku pergi dulu, hujan sudah reda."
Hujan seharian dari pagi buta seringkali membuat sejumlah aktivitas orang terganggu; rasa malas, kesal, kecewa, dan tak berdaya seringkali menjadi tantangan setelahnya. Banyak dari mereka yang menunda atau bahkan menerjang meskipun basah karena demi mencapai suatu hal. Bayangkan, berjuta-juta orang mendoakan supaya datang hujan dan satu saja yang mendoakan supaya reda karena ia membenci hujan, begitupun sebaliknya. Lantas, apakah dia akan membenci Tuhannya hanya karena hujan membawa bencana baginya? Apakah Tuhan setega itu? Tidak, bukan?
"Persepsiku memang terlalu egois. Padahal, hujan juga anugerah untuk orang lain. Lantas, mengapa aku berharap bahwasanya menunggu hujan mereda? Kan lebih bagus kalau langsung diterjang saja."
Saat akan menaiki bus, lagi-lagi ia merasa seperti dejavu. Ia pun seperti melihat bayangan Revan yang menegurnya kala itu dan mengatai dirinya sebagai pencuri. Ia pun lantas tersenyum miring, "Sebenarnya aku dari dulu agak meragukan kalau Revan itu punya ingatan yang bagus, atau memang ia pura-pura bodoh saja?" gumam Genda sembari menyenderkan bahunya di kaca bus.
Setelah hampir 15 menit mengendarai bus, ia pun kemudian perlahan menuju ke minimarket yang lokasinya tidak jauh dari halte.
"Hufthh," hembus napasnya pelan sesekali menyeruput kopinya yang baru dibelinya itu. Matanya juga mengedar pelan menatap orang yang berlalu lalang menyusuri jalanan. Ia bahkan sampai menyadari bahwasanya tepat di salah satu butik ia melihat mantan pacarnya, John, yang sedang memilah setelan tuxedo. Jelas sekali karena butik itu nampak begitu menonjol di banding dengan toko-toko di sebelahnya—tercetak ornamen bangunannya yang full kaca dan lampunya yang memancar begitu terang. Tapi sialnya, gadis itu pun seolah tenggelam sesaat mengingat bagaimana mantan pacarnya itu akan resmi menjadi milik orang lain.
"Berhentilah berpikir macam-macam, Gen, ini sudah selesai. Dan ... sebaiknya kau fokus pada ini," sarannya pada dirinya sendiri. Gadis itu pun kini beralih mengulas senyum, menatap brosur kampus yang ia idam-idamkan dari dahulu.
"KAU! sahut Revan dari kejauhan.
"Bisa-bisanya, shh." Genda pun menyadari langkah cepat Revan yang menghampirinya. Ia nampak begitu tampan dengan jaket mantel hitamnya yang bertengger di tubuhnya itu
"Kenapa tak bisa diam saja di apartemen? Ah, maksudku kau ini kenapa pergi tanpa mengajakku?" katanya setelah berhadapan dengan Genda yang beralih di kursi depan minimarket itu. Entah dari mana pemuda itu tahu kalau Genda di sana.
"Hooo, kau juga dari mana?" gumam Genda seraya memicing tajam ke wajah pemuda itu. Ia pun kembali teringat bagaimana Revan menciumnya kala itu dan ya ... semuanya berputar terus menerus seolah sedang membangunkan realitanya.
"Oh, aku? Aku gak kemana-mana, sih."
Nahkan, pura-pura tolol lagi.
"Aku lagi ingin sendiri, kau menggangguku tahu?" dengus Genda sambari memutar bola matanya malas.
"Shh, ya sudah aku pergi," gerutu Revan yang mana membuat gadis itu yang melihatnya seperti ingin menampolnya tepat di wajah tampannya itu.
Ck, apa dulu ia pernah terbentur sesuatu yang mana membuat dia jadi pikun seperti ini? batin Genda sambil menghabiskan ramen yang sedang ia makan itu. Menatap bergantian antara pemuda itu dan jalanan di sana.
"Aku hanya ingin bertanya, Rev? Aku ini agak mencurigaimu. Bagaimana bisa kau sesukses ini di usiamu yang err ... dan dua bisnis yang menurutku terbilang besar. Kau dibantu siapa saja memangnya, huh?"
"Hmm, aku ...." jawabnya lesu dan tak tersinggung sama sekali akan ucapan Genda kemudian menghela napasnya panjang.
"A-aku tak meragukan kemampuanmu, hanya saja ... bertemu dengan orang sepertimu sepertinya mustahil."
Revan POV.
Revan Agif Adhyaksa, dan usiaku ini terbilang masih muda yaitu 26 tahun. Banyak yang tak kusadari bahwasanya selama ini mengalami rentetan kejadian yang membuatku begitu lebih dewasa dibanding dengan mereka yang seusiaku. Sebenarnya tidak masalah, hanya saja ... hidup tanpa adanya kehadiran orang tua memang begitu berat. Ada banyak titik-titik kecil putus asa yang melebar seolah mengobrak-ngabrik harapan-harapan yang terkadang tak masuk akal. Bak hilang arah juga karena sungguh dikelilingi oleh lapisan kemunafikan dari orang-orang sekitarku yang sangat tebal seolah ingin menghimpitku hidup-hidup. Banyak pertanyaan-pertanyan yang tak ingin kujawab sebenarnya, tapi entah mengapa mereka seolah mengepul hingga mengenai sebagian besar ruangan paru-paru milikku hingga begitu menyesakkan.
Pertama, tepatnya pada tahun 2015 sebuah kejadian naas menimpaku—kejadian di mana kehilangan orang tuaku untuk selama-lamanya. Duniaku memang tak seindah yang kubayangkan ketika mereka masih hidup, hanya saja, setidaknya dengan adanya mereka aku punya alasan mengapa hal-hal indah itu bisa didapatkan tanpa perlu bersandar pada uang atau keserakahan. Bagiku, itu sudah lebih dari cukup.
Ini memang mengecewakan, aku hanya ingin berjuang sedikit saja tapi takdir berkata lain. Sepertinya orang tuaku tidak sekuat yang kubayangkan, pernyataan dari kepolisian yang mengatakan bahwa mereka bunuh diri membuatku semakin yakin kalau keluarga dan kerabatku benar-benar membenci kemauan ayah mengenai pernikahan itu terhadap ibu. Aku pun menyadari itu adalah tindakan yang sangat tak adil sama sekali, andaikata mereka berdua masih hidup sudah pasti kan kutunjukkan dengan cara-cara yang lebih cerdik. Kebencian harusnya dibalas dengan sesuatu yang bisa dibanggakan, bukan?
Aku hanya ingin berjuang sedikit saja. Setidaknya, kalau ayah dan ibu tak sanggup melawan hinaan itu biarkan aku saja yang melakukannya dan berkesempatan membagikan momen yang indah itu? Biarkan aku yang melakukannya. Bukannya malah menyerah dan membuat mereka yang membenci jadi menang? Mengapa begitu? Di sini aku sendirian, berpikir bangaimana menyelesaikan segalanya, menyelesaikan hal yang seharusnya tak perlu diselesaikan karena aku memang tak sudi berurusan lagi dengan keluarga dari pihak mendiang ayahku.
Tapi lagi-lagi itu bukan tujuan awalku, aku hanya ingin melihat diriku sendiri bahagia dan terbebas dari jerat kemiskinan yang luar biasa itu. Benar, setidaknya aku lebih baik daripada ayah. Setidaknya aku tak memaksakan yang namanya cinta.
"Kak, Revan. Kau menangis?" Ria berujar pelan sembari jemari-jemari mungilnya yang mengusap pipiku yang terkena air mata.
"Kita habis ini ke rumah kakek ya," kataku pada Ria. Kakek Harry maksudnya, kakek dari pihak ibu. "Ayah sama ibu gak ada di rumah untuk waktu yang lama," ujarku pada Ria mencoba membohonginya.
Di hari-hari yang masih berduka, kubuka hasil seleksi tes perguruan tinggiku mencoba memilah mana yang sepatutnya aku jadikan tempat untuk mendapatkan beasiswa full semester. Bersukurlah, aku terpilih di kampus yang tak jauh dari rumah kakek Harry, jadi aku bisa sembari membantunya di sela aku berkuliah. Bagaimanapun juga, dia sudah sangat tua dan tak bisa bekerja dengan berat di usaha kerupuk miliknya.
"Van, andaikata tidak seperti ini, aku tak akan merestui ibu dengan ayahmu."
"Tak apa, kalau tak ada mereka aku tak ada di sini bersama kakek."
"Maafkan kami ya, Van, Tuhan memilihmu karena ia menyayangimu. Karena hal ini pula kau akan menjadi anak yang lebih kuat," lanjutnya tersenyum lebar kemudian menyeruput teh hangat yang ada di depannya.
"Aku agak tidak rela sebenarnya, Kek. Ada perasaan sakit yang tak bisa kujabarkan dari hal ini. Perasaan mengapa ayah memaksa ibu untuk menikah padahal mereka hanya bermodal cinta. Haruskah aku membenci mendiang ayahku?"
"Nak ...."
TBC
Btw, part ini aku breakdown jadi dua hehe.
Ditunggu, ya!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Fall on Deaf Ears (COMPLETED)
Fiksi PenggemarHujan bukanlah bencana, melainkan secuplik kisah pahit yang sekian lama tidak dilihat ataupun didengarkan. ◉ Revisi setelah selesai. ✓ ◉ Dilarang plagiat, apalagi report ⚠. Belajar menghargai sesama penulis. Menulis cerita itu tak semudah membalikka...