Hujan Itu
"Apa yang kau pikirkan?"
Deg....
"Jangan sampai hujan tahu kalau kamu sakit karenanya. Kau menyukainya, bukan?" Suara lembut seseorang pun membuyarkan lamunanku. Aku pun hanya terdiam sesaat sembari menatap matanya yang sangat cantik itu. Resiko memang nampak buruk karena mengambil keputusan yang bisa saja menghancurkan segalanya, tetapi itu tak lebih buruk dari sebuah namanya penyesalan. Ya, sudah beberapa bulan ini aku menghindarinya, mencoba seperti tak terjadi apa-apa di antara kita berdua.
"Bawa ini," katanya sambil menyodorkan payung untukku kemudian melenggang begitu saja melewati hujan di sana. Di balik kekhawatirannya, aku pun seperti melihat titik kekecewaan yang ia sembunyikan karena mengabaikannya sejauh ini. Ia nampak tersenyum kepadaku, tapi senyuman itu hanya untuk menutup lukanya saja.
"Aku tidak mengasihanimu!" teriaknya setelah langkahnya cukup jauh dariku berdiri ini. Aku ingin membalas senyum itu tetapi entah mengapa gengsiku seolah kambuh dan tak ingin menunjukkan emosi apapun. Tapi sebentar, apa dia sudah ingat dengan semuanya?
Awas! sahutku dalam diam.
Hujan kian begitu deras, dan kulihat di sana Genda yang tiba-tiba tersandung tepat di tengah rel kereta yang mana pada saat itu juga palangnya pun akan turun ke bawah menandakan keretanya akan datang.
"Rio?" gumamku. Napasku pun seketika tercekat dan laju lariku terhenti dibarengi dengan perasaan menyesal dan khawatir padanya. Aku beruntung karena Rio yang sempat menyelamatkan gadis itu, tapi di sisi lain aku merasa kecewa karena ia yang berhasil menyelamatkan Genda ... bukannya aku. Ya, harusnya aku. Aku lantas membalikkan badan dengan cepat, kemudian bersembunyi di antara semak-semak di sana. Semoga saja mereka tidak melihat aksi bodohku barusan.
Revan POV end.
"Gila! Kau bisa mati nanti, Gen!" gertak Rio tapi di balik itu sorot matanya menunjukkan kekhawatiran yang sangat besar kepada Genda. Sementara gadis itu hanya tertunduk sambil memegang pinggangnya yang sakit.
"Kau dari mana saja! aku mencarimu dari tadi dan kau di sini? Mencari bang Revan?" tebak Rio dan Genda tidak menjawab pertanyaanya.
"Oh, benar sekali. Kau sudah pasti mencarinya." Hembusan napas panjang pun keluar dari rongga hidung pemuda itu seolah lelah dengan sikap Genda yang begitu ingin dekat dengan Revan.
"Aku hanya khawatir saja dengannya."
Kini mereka terlihat duduk di sebuah teras bengkel yang ditutup dan lokasinya tidak jauh dari rel kereta. Sembari menunggu hujannya reda, mereka pun kini duduk dengan kaki mereka yang diayunkan pada sebuah bangku tanpa percakapan yang menurutku berarti.
Apa mereka berdua lupa? Ck, kalau dilihat-lihat Genda dengan Rio memang cukup cocok untuk bersama, mereka juga sepantaran.
Hufth, mengapa aku jadi merasa tak pantas untuknya?
"Bukannya kau membenci hujan?" ujar Rio tapi masih menatap lurus jalanan dan seketika Genda menoleh.
"Iya, aku memang membencinya, kok."
Genda POV
Rahasia dan kebenaran terkadang tidak jauh beda--keduanya bisa saling menguntungkan bahkan merugikan. Sungguh, hari-hariku sekarang dipenuhi dengan ketakutan seolah ayah yang akan meninggalkanku, paranoid di kepalaku selalu saja menggedor tanpa hentinya menakuti. Kudengar sayup-sayup suara ayah kala itu yang entah kepada siapa dan sedang memperdebatkan apa hingga membuatnya seperti terpojokkan. Ya, lawannya ayah seperti ingin sekali melenyapkan keluarga kami.
Malam itu ayah berbohong padaku, ia mengatakan ada kasus darurat di kantor yang mana mengakibatkan sejumlah pengacara diminta datang di jam yang menurutku sudah tak lazim. Aku yang curiga pun lantas mengikuti ayah dengan sepedaku, persetan dengan penjahat malam atau apapun itu. Aku tidak peduli, aku hanya ingin kejelasan karena sikap ayah yang menurutku menjadi aneh.
Aku tidak mengira jika kejadian tragis semacam ini akan menimpaku. Kurasa aku hanya sedang berada di dunia mimpi belaka. Sejak kejadian di mana terenggutnya nyawa ibu, hari-hariku terasa seperti hilang arah. Aku lantas menyalahkan diriku sendiri, mengurung diri, tidak mau makan, dan hanya bisa menatap frame foto ibu dengan tatapan kosong.
Setiap hari yang ingin kukatakan kepada ayah adalah mengapa ia tidak melaporkan kejadian naas ini kepada polisi? Kenapa ayah malah menyembunyikannya? Bukannya sudah jelas jika ayah John lah yang telah membunuh ibu? Sial, bahkan CCTV di rumah pun hilang, hingga aku menemukan bukti itu malah tersimpan di almari ayah? sebenarnya apa yang terjadi?
Setelah dari ketidakhadirannya ibu di dunia ini, sikap ayah pun kian berubah, ia jadi gampang marah dan melampiaskannya kepadaku.
Perubahannya menjadi titik ketidak adilan untukku.
Hingga tepat di tahun 2015, sejak saat itu hatiku semakin hancur kala ayah mendatangkan seseorang di rumah kami. Ayah menyebutnya, 'anak angkat'. Aku benar-benar tidak menyangka karena kasih sayang ayah lantas terbagi menjadi dua. Aku tahu mungkin ayah kesepian, tapi kenapa ia setega itu mendatangkan seseorang, dan bahkan sejauh ini ayah juga sering mengabaikanku.
"Dia siapa, Yah?" tanyaku pada ayahku, Eddy.
"Ia akan menjadi kakakmu," jawabnya enteng seperti tak memedulikan dampaknya kepadaku.
Degg,
Ada perasaaan seolah hubunganku dengan ayah yang akan semakin merenggang. Ya Tuhan, apakah dengan hadirnya orang itu membuatku semakin bahagia karena di rumah menjadi tak begitu sepi atau hanya akan menjadi pengganggu saja? Tapi jika mengingat bagaimana sikap ayah selama ini pun aku berpikir kalau semuanya tidak akan membaik dan hanya memperkeruh keadaan.
"Ayah, kenapa kau tak melaporkan yang membunuh ibu?"
"Kau diam saja. Anak kecil tak boleh ikut urusan orang tua. Kau belajar saja sana. Awas saja kalau sampai kau tak masuk universitas terkenal di kota ini!"
"Tapi, Yah ...."
Setiap hari yang kurasakan hanyalah stress, ayah sama sekali tak mau mendengarkanku seolah omonganku hanya angin lewat. Kenapa harus Kayla, Yah? Memangnya apa yang spesial darinya? Itu yang selalu menggantung di kepalaku.
Seperti sekarang ini bahkan sikap ayah semakin hari seperti pilih kasih tak memedulikanku ini ada atau tidak di sampingnya. Bahkan, untuk urusan makanan, baju, dan uang saku pun mendapatkan bagian yang paling sedikit dan si Kayla, si anak pungut itu yang mengeruk segalanya. Lebih parahnya, ia juga mendapatkan kesempatan kuliah karena dibayari oleh ayahku ini.
Demi apapun, aku hanya penasaran saja dari mana ayah bertemu dengan Kayla.
"Gen, mulai sekarang kau tak bisa naik mobil. Kau bawa saja sepedamu itu ke sekolah." Itu kata ayahku tiba-tiba di waktu kami bertiga sarapan.
"Kenapa, Yah?" aku pun lantas mengernyit heran padanya.
"Motormu dibawa oleh kakakmu Kayla. Kasihan, karena rumah ke kampus lumayan jauh."
Agak logis memang, tapi kenapa ia jadi merenggut semua yang aku punya?
Aku lantas melirik sengit ke arah Kayla itu. Sementara dia, hanya tersenyum miring seolah mengejekku. Aku yang semakin kesal pun tak mengucapkan sepatah kata dan langsung mengambil tasku kemudian melenggang pergi begitu saja.
Tapi tak apa, lagian ini hari pertamaku sekolah di SMA ini, dan yang terpenting adalah harus giat belajar biar ayah tidak semakin memarahiku.
"Hufth, di mana letak kelasku, ya? Emm, kurasa di sana. Ah, ya, di sana." Aku pun selanjutnya berjalan cepat di koridor sambil membaca nama tiap kelas yang biasanya terpampang di depan pintu.
Brukkk...
"Maaf, aku terburu-buru." Aku pun hanya bisa menunduk minta maaf tanpa melihat wajah yang ada di depanku itu.
"Hei! Kau cari 10 IPS 2, bukan?" celetuknya dan membuatku menegapkan bahuku karena seperti tak asing dengan suaranya.
TBC

KAMU SEDANG MEMBACA
Fall on Deaf Ears (COMPLETED)
FanfictionHujan bukanlah bencana, melainkan secuplik kisah pahit yang sekian lama tidak dilihat ataupun didengarkan. ◉ Revisi setelah selesai. ✓ ◉ Dilarang plagiat, apalagi report ⚠. Belajar menghargai sesama penulis. Menulis cerita itu tak semudah membalikka...