Tak Ada yang Sempurna
"Ah, leganya. Sangatttt legaa!!!" Rio menghembuskan napasnya pelan sesaat keluar dari bus. Sementara Genda yang akan berdiri di samping pemuda itu malah diabaikan dan dihindari.
"Gak usah lebay bisa?" ketus Dion dan menyenggol Rio kesal.
"Kau kok sering keluar sih, Bang? Apa kau kencan buta saat kau tak ada di apartemen?" Rio menaikkan alisnya beberapa kali seolah menggodanya.
"Kencan buta matamu!" pekik Dion sambil menjitak kepala Rio.
"Kalau aku lebih tua darimu, sudah ku gampar kau pakai panci, Bang!" kesal Rio sambil melirik Dion tajam.
"Dasar tak sopan!" Dion pun menyentil telinga Rio dengan jemarinya.
"Hey! sini, kumpul. Hari ini kita bersiap ke universitas. Ingat, kalian di sini semuanya bekerja! Dan jaga sikap ya, kita di negeri orang soalnya," instruksi Revan tegas kepada semua pegawainya di sana.
Kegiatan itu lantas berlangsung hikmat, kegiatan diskusi yang mana mengundang Revan sebagai narasumbernya dalam fokus bahasan mengenenai penggunaan English for Specific Purposes di bidang kuliner. Jadi, dengan Revan membawakan sejumlah karywannya dalam acara itu bertujuan untuk memperkenalkan bagaimana urgensi bahasa internasional itu dalam mengembangkan usaha bisnisnya yang mana bisa dijadikan contoh nyata para audien yang hadir. Ini lah yang diimpikan Revan selama ini, bisa diundang ke mana saja dan membuat beberapa mereka yang tertarik dengan bidangnya bisa untuk mewujudkannya.
Revan pun merasakan gejolak bahagia kali ini meskipun sebenarnya ada yang mengganjal sedari tadi takut beberapa menanyakan perihal kondisi Vanrevco yang masih terbakar.
"Pak Revan, apakah benar restoran Bapak terbakar belum lama ini?" tanya salah satu mahasiswa yang membuat Revan diam sejenak.
Seharusnya pikir dua kali sih kalau mengundang siapa narasumbernya.
Kurasa dia sedang memungut.
Begitulah bisik-bisik yang terdengar oleh telinga Revan.
Rio, Dion, Friska, da Genda pun lantas menatap Revan khawatir. Menunggu sepatah kata yang akan diucapkan oleh bosnya itu. Mereka tentunya paham, Revan adalah orang yang terpandang dan bukti sampai dia diundang di sini karena kerja kerasnya itu, bahkan teman-teman yang seangkatan dengan Revan yang notabennya anak dari kalangan berada pun tak bisa menyamainya.
"Okay, terima kasih atas pertanyaannya. Jadi, tempat kami, Vanrevco maksudnya, memang sedang mengalami kendala dan tidak aktif bekerja karena terbakar. Tapi, hal itu tak menyurutkan kami untuk berusaha memperbaikinya, ya. Bahkan, karena kejadian itu menjadikan restoran kami semakin terkenal," jawab Revan dengan tenang mencoba tidak menunjukkan emosi kekesalannya.
Apa ia sedang memungut dengan kampus kita untuk renovasi restorannya itu? bisik salah satu mahasiswa lagi di sana dan membuat Revan mencoba menahan emosinya. Revan tidak mendengarnya dengan jelas, tapi ia tahu apa yang ada di kepala mereka.
"Satu lagi, kami diundang karena kampus tahu mengapa mengundang orang-orang seperti kami." Telak Revan sudah dan lagi-lagi tersenyum simpul demi keutuhan harga dirinya itu.
Acara itu pun berlangsung dari jam 08.00-15.00. Terbilang lama karena memang ada beberapa demonstrasi memasak yang tentunya tadi dilakukan oleh Friska dan karyawan lain tadi.
"Ah, meskipun tak jadi kuliah, tapi beruntung sekali sih aku bisa berdiri di sini sekarang," gumam Rio lesu tapi seketika menyunggingkan senyuman simpul.
Setelah itu, Revan pun keluar dari aula seminar itu, dan salah seorang kepala fakultas di sana menghentikan langkah Revan mencoba membujuk pemuda itu untuk ke ruangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fall on Deaf Ears (COMPLETED)
FanfictionHujan bukanlah bencana, melainkan secuplik kisah pahit yang sekian lama tidak dilihat ataupun didengarkan. ◉ Revisi setelah selesai. ✓ ◉ Dilarang plagiat, apalagi report ⚠. Belajar menghargai sesama penulis. Menulis cerita itu tak semudah membalikka...