14. You Caught My Eyes •

725 164 300
                                    

Kau Mengalihkan Perhatianku

"Genda siapa, Kak?" tanya Ria sambil meneruskan arah pandang kakaknya yang mematung seolah sedang menerka-nerka salah satu orang yang ada di antara kerumunan itu.

Apa yang meninggal anggota keluarganya, ya?  Baginya memang cukup masuk akal, tetapi selama ini Genda tak pernah yang namanya berbicara mengenai keluarga atau kerabatnya.

"Maksud Kakak si perempuan itu?" Ria pun beralih menggoyangkan lengan Revan mencoba membuyarkan kakaknya itu.

"Ka-kau ke mobil dulu ya, Dek" suruh Revan pada adiknya.

"Tapi, Kak," protes Ria tidak mau.

"Nanti, ya," tukas pemuda itu mendorong bahu adiknya pelan.

"Oh, baiklah."

Beberapa menit kemudian.

"Gen, aku turut berduka cita," lirih Revan yang mana membuat gadis itu mendongak.

"Hah?" Genda yang semula jongkok pun beralih berdiri berhadapan dengan pemuda itu. Hujan yang semula mereda pun kembali berjatuhan lagi ke bumi membasahi baju hitam mereka. Revan yang merasa wajahnya begitu dekat dengan gadis itu pun lantas menelan saliva-nya sulit. Terlihat juga mata gadis itu yang sangat sembab tidak seperti biasanya.

"Aku barusan mengunjungi makam ibu serta ayahku, dan ... kemudian melihatmu ...."

"..."

"Aku minta maaf untuk yang kemarin. Kurasa itu sangat melukaimu." Tangan Revan pun terulur mencoba menggapai pipi gadis itu tapi seketika ditepisnya dengan pelan.

'Ilham?' Revan pun membaca nama yang terukir di batu nisan di depannya itu.

"..."

Genda yang merasakan dadanya bergemuruh sedari tadi lantas kembali berjongkok sembari menahan air matanya yang lagi-lagi terjatuh. Menaburi sisa-sisa bunga mawar di atas gundukan tanah yang masih basah itu.

"Ayo, jangan terlalu lama di sini. Nanti kau kedinginan." Revan lantas memegang bahu Genda supaya berdiri kembali. Disematkan jemarinya juga pada gadis itu hingga membuat empunya terdiam seribu bahasa.

"Apa yang kau lakukan? Lepas!" Genda kemudian menarik paksa pagutan jarinya pada Revan. Ia tidak suka diperlakukan tidak jelas seperti itu.

"Jangan menolakku. Omong-omong, kita sedang di makam, jangan mengumpat," tukas Revan pelan masih menarik lengan gadis itu menuju keluar lokasi itu dan menuntunnya ke dalam mobilnya.

"Ssh," ringis Genda karena jarinya yang tanpa sengaja terkilir.

"Ma-maaf."

"Biarkan seperti ini," kata Revan beralih menggenggam jemari Genda yang duduk di jok samping kirinya. Sementara sang empunya hanya bisa membeku dan merasakan degup jantungnya yang tidak beraturan. Perasaan dongkol, sedih, dan kecewa begitu terasa di balik dadanya kali ini. Ia merasa jika pemuda ini selalu saja mempermainkannya bahkan di saat berkabung seperti ini.

"Kak Rev? Dia siapa? Kau tidak pernah bilang padaku sebelumnya," penasaran Ria yang mana membuat yang duduk di jok depan itu menoleh ke belakang. Genda kaget, karena ternyata ada orang lain di mobil ini.

"Kau cerewet sekali," delik Revan tajam karena adiknya yang kelewat berisik itu.

Beberapa saat kemudian, mereka sampailah di depan gerbang rumah yang menurut Genda sangat asing karena memang tidak pernah ke sini sebelumya. 

"Dek, kau bisa masuk ke rumah dulu. Jangan lupa makan. Kakak harus pergi," titah Revan pada adiknya.

"Oh, iya kak," angguk Ria seraya keluar dari mobil kakaknya. Genda pun hanya menatap interaksi itu yang mungkin menurutnya mereka berdua adalah saudara.

Fall on Deaf Ears (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang