Di mana Kita Memulai
Hidup terkadang seperti bongkahan gunung es di lautan (an iceberg). Orang lain tahu hanya bagian pucuknya saja. Lantas, bagian terdalamnya bagaimana? Tidak bisa terungkap begitu saja, bukan? Pun tak jauh beda ketika menyelam ke dalam hati seseorang. Perlu digali dengan pengalaman, kesungguhan, dan ketulusan.
Tidak ada kasih sayang, juga bukan setidaknya rasa iba. Yang ada hanya kebencian yang tertanam. Reyhan pun selalu merasakan perlakuan tidak adil dari ayah dan ibunya. Ia merasa jika segala jerih payahnya tidak pernah dihargai sedikit pun. Bahkan, di kehidupannya yang sudah penuh dengan lika-liku itu, Reyhan harus menelan kepahitan di mana harus mengikuti kemauan ayah ibunya yang ingin terlihat kaya raya seperti sanak saudara yang lainnya. Karena obsesinya itu, orang tuanya bahkan selalu berhutang ke sana ke mari supaya tak mendapatkan penghinaan dari sekitarnya tadi.
Keputusan Reyhan untuk menikah muda pun bukan tanpa alasan. Ia merasa dengan menikah kan baik-baik saja dan mendapatkan cinta dari seseorang yang ia dambakan selama ini. Ia hanya ingin bahagia menggunakan jalur pernikahan.
Namun...
Nyatanya itu semakin membuatnya runyam, di kala sembari membina rumah tangganya, ia pun diharuskan untuk bertanggung jawab membiayai kebutuhan adiknya yang harus melanjutkan studinya di tingkat universitas dan membayar hutang orang tuanya tadi.
Tiga bulan berlalu
"Sepertinya aku mengandung anakmu, Mas," ucap Anggita lirih yang kini duduk di pinggiran kasurnya.
"Benarkah?" Reyhan yang baru saja mandi karena mau berjualan pun seketika menghambur istrinya.
"Iya, kemarin aku ke puskesmas," ujar wanita muda itu.
"Kau ke sana sendiri?" Sambil mengecup punggung tangan isterinya itu.
"Tak apa, aku minta uang ibu [ibunya sendiri] tadi."
"Maafkan aku, sayang, untuk gajiku hari ini memang sepertinya tak cukup." Lanjut Reyhan kemudian mengelus perut istrinya yang masih rata.
"Iya ... tapi ...."
"Kau harus banyak istirahat," pinta Reyhan. Namun, Anggita terlihat memalingkan wajahnya.
"Kau marah?" heran Reyhan.
"Tidak apa-apa," jawab wanita itu singkat.
Reyhan tahu pasti ada sesuatu, bisa dilihat dari reaksi istrinya yang barusan.
__"Anggita! Lihatlah! kenapa kau hanya tidur saja. kau harus bersih-bersih rumah!" perintah sang mertuanya itu tidak memedulikan menantunya sedang mengandung atau tidak.
"Ba-baik, bu..." jawab Anggita dengan nada yang parau. Wanita yang sedang hamil muda itu lantas beranjak dari tidurnya dengan tertatih. Kepalanya juga pusing serta perutnya yang terasa mual karena 'morning sickness'. Oh, siapa yang peduli? Bahkan, dirinya yang seperti mengidam sate pun tidak bisa terkabulkan.
Anggita pun berjalan ke dapur, kemudian memasak, sekaligus membersihkan hal yang lain seperti, menyapu, mencuci dan apapun itu yang berkaitan dengan kegiatan rumah. Pedih memang, di usianya yang masih muda itu ia seperti tak bisa seperti remaja seumurannya. Selanjutnya, dengan agak lemah ia lantas menyandarkan dirinya pada sebuah kursi di sana dan mengelus perutnya yang masih rata.
Satu hal, ia merasa semacam pembantu di rumah ini.
"Semoga, suatu saat kau tidak seperti orang tuamu ya, Nak." Anggita bergumam kemudian perlahan memindahkan lauk-pauk itu dari wajan ke mangkuk. Ada Irza, adik Reyhan dan tidak lupa mertuanya yang kini menatapnya dengan penuh kebencian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fall on Deaf Ears (COMPLETED)
FanficHujan bukanlah bencana, melainkan secuplik kisah pahit yang sekian lama tidak dilihat ataupun didengarkan. ◉ Revisi setelah selesai. ✓ ◉ Dilarang plagiat, apalagi report ⚠. Belajar menghargai sesama penulis. Menulis cerita itu tak semudah membalikka...