My Hijab Sakura 35

818 70 23
                                    

Berdua

"Seberusaha keras apa pun untuk menjauh, jika takdir mengatakan untuk bersama, tidak ada yang dapat mengubahnya selain Allah Ta'ala."

Pov Jauza

~~~~


Setiap kali duduk bersilah di atas sajadah, maka punggung pria berbaju agamais yang masih memanjatkan doa itu selalu kutatap.

Hal ini membuatku diajak untuk mengingat saat pria tampan itu melamar setelah selesai salat. Bahkan jantungku masih sering berdegup kencang saat mengingatnya kembali.

Saat itu, dengan tegas dia meminta menunggunya kembali dari magang untuk melamarku. Jangan tanya bagaimana rasanya saat itu, karena aku hanya banyak diam dan membatin, lalu anggukan menjadi jawaban.

"Enggak salim?" Suara Mas Nadif membuyarkan lamunan.

Aku langsung tersenyum dan mencium punggung tangannya. Detik selanjutnya, Mas Nadif menepuk pahanya, meminta agar kepalaku berbaring di sana. Aku pun menurut saja.

"Mau makan apa?" tanyanya.

"Lagi enggak pengen."

Setelah aku dijemput dari rumah Mama dan kembali ke sini, rasanya masih saja memikirkan bagaimana keadaan Dea yang gagal kembali menikah dengan Mas Nadif. Sesak jika memikirkan betapa rumit masalah di antara kita.

"Harus makan. Jangan bikin calon anakku kelaparan, nanti kurang gizi gimana?" Dia berucap seraya terkekeh jail.

"Iiih. Tapi, kan, lagi enggak pengen, kalau muntah gimana?" balasku seraya melepaskan peci di kepalanya, lalu memainkan rambutnya.

"Makannya sambil lihatin aku, jadi enggak muntah." Dia menggesekkan ujung hidupnya di hidungku, aku sampai menutup mata dan merasa ada sengatan listrik di tubuh. Mengapa masih saja segugup ini jika tengah bersamanya.

Tangannya tidak ambil diam, dia mengelus perut dengan lembut.

"Masih ingat kisahnya Nabi Ibrahim dan istrinya Sarah?"

Aku mengangguk, kisahnya begitu mengingatkanku saat ini. Diagnosis Dokter bukanlah akhir segalanya jika Allah menginginkan yang lain.

"Kisah Nabi Ibrahim lah yang buat aku enggak menyerah, Za. Meski kamu kekeh duduk di persidangan untuk berpisah. Lihat? Kamu hampir melupakan Rahmat-Nya."

Aku tersenyum kecut, sadar betul kalau keputusan kemarin adalah hal terburuk yang pernah diambil. Bahkan, sampai tebersit penyesalan karena bertemu dengan Mas Nadif.

Aku bangun, lalu menatap wajah tampan pria yang selalu mencukur kumisnya dengan bersih itu.

"Mas, maafin aku."

Mas Nadif mengerutkan kening. "Enggak ada yang salah, kenapa harus minta maaf?"

"Pernah tebersit di hati aku menyesal mengenal kamu. Menyesal pernah jatuh cinta kalau tau akhirnya adalah perpisahan. Bahkan, pernah menyesal harus menerima lamaran kamu."

Dia tersenyum, lalu tangannya terulur membenarkan mukena yang kukenakan. "Kamu manusia biasa, wajar pernah menyesal kalau ketemu sesuatu yang enggak mengenakan."

"Tapi harusnya aku enggak menyesal ketemu kamu, walau itu cuma tebersit dalam hati. Soalnya ...." Aku menghentikan ucapan, mengigit bibir bawah karena sedikit malu untuk mengatakannya.

My Hijab Sakura | ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang