Menunggu
"Jika menunggu menjadi pekerjaanku, semoga pekerjaan tersebut memberikan hasil yang baik."
~~~~
Selimut yang menutupi sebagian tubuh ditarik-tarik oleh seseorang, membuatku menggeliat ketika sedang tertidur nyenyak.
Suara Tora, teman kerjaku, berseru membangunkan dengan sedikit memaksa. Suaranya lebih menakutkan daripada suara jam waker.
"Mas, bangun! Sholat subuh, ayo!" Dia terus berseru seraya mengguncang-guncangkan tubuhku.
Karena aku masih sangat malas bangun, Tora loncat-loncat di kasur tempat kami tinggal.
"Bangun Mas Nadif!"
Loncatan Tora yang tinggi membuatku mau tidak mau bangun. Aku langsung duduk di kasur, sontak pemuda itu menghentikan loncatannya."Dasar! Kalau cewek kamu tau sekarang pacarnya ini susah bangun, dia pasti marah!" katanya sok tahu.
Pagi-pagi begini dia malah membahas Jauza, gadis yang tengah kurindukan karena sepekan tidak dapat menghubunginya.
"Apalagi kalau lihat muka kamu jelek gitu, pasti siapa? Jauza? Dia bakalmpppp."
Aku langsung menyumpal mulutnya yang cerewet dengan kertas.
"Aku kecapean karena harus pulang larut malam terus, makanya susah dibangunin." Aku memberikan alasan.
"Alesan," celanya.
Aku tahu, semenjak magang di perusahaan minyak, hidupku begitu berubah. Aku tinggal di sebuah mes yang disewa khusus oleh perusahaan bersama satu teman. Beruntung semua sudah dijamin oleh perusahaan.
Aku bangkit dari tempat tidur, masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan segera melaksanakan salat subuh.
Setelah nanti selesai magang, aku akan meminta untuk dipindahkan ke kota kelahiran, di mana rumah dan makam Ibu berada, agar aku dapat bekerja lebih dekat dengan Jauza jika sudah menikah nanti, dan juga dekat dengan Marwah.
Ah! Jauza, aku mengingatnya setiap malam, berharap dia akan setia menungguku pulang dan melamarnya.
Sangat disayangkan, ponselku hilang satu minggu yang lalu, padahal semua kontak milik teman-teman dan milik Jauza ada di sana. Bahkan akses untuk menghubungi orang terdekat sudah terputus total karena ponsel yang hilang. Waktuku juga tidak banyak walau hanya untuk memegang ponsel.
Dua salam menjadi akhir dari salat kami, aku langsung memutar tubuh ketika Tora memanggilku dengan pelan.
"Mas, kita kapan pulang, ya? Kangen rumah," tanyanya dengan wajah sendu. Anak manja itu sepertinya tengah merindukan ibunya.
"Empat bulan, setelah itu kita pulang."
Empat bulan, waktu yang terlihat singkat, tetapi akan terasa lama bagi yang tengah menunggu. Jauza lagi yang muncul di kepala. Apa gadis itu baik-baik saja? Aku hanya dapat mendoakannya dari sini.
"Mas enggak bisa hubungin siapa pun lagi, ya?" Tora bertanya lagi.
"Aku mau cari emailnya besok, siapa tau bisa dapat kontak dari sana," cetusku.
Hening, kami sibuk dengan pikiran masing-masing. Membayangkan betapa tidak mudah menjalani semua di sini. Apalagi ini magang pertama yang berat.
Aku kembali mengingat ucapanku pada Jauza, saat memintanya untuk menungguku pulang. Dia menjawab dengan tegas.
"Kalau kamu memang serius dengan ucapan kamu, aku akan menunggu kamu pulang untuk memenuhi janji Mas Nadif."
Kalimat itu begitu meyakinkanku, kalau Jauza juga memiliki perasaan yang sama. Namun, di waktu yang bersamaan aku kembali teringat pada perjodohan yang berkedok jabatan.
Malam itu, betapa terkejutnya saat tahu kalau gadis yang dijodohkan denganku adalah sahabat dari gadis yang kucintai.
Dea, gadis itu kini tengah menatapku penuh arti, kami dipertemukan dalam satu situasi yang sangat sulit.
Perjodohan yang aku pikir akan membawakan gadis baik di hadapanku, sampai tebersit hati ini segera menyingkirkan perasaan untuk Jauza. Akan tetapi, kenyataannya orang yang dijodohkan denganku adalah sahabat baik Jauza.
Jika saja yang Ayah pilih adalah gadis lain, aku sudah pasti akan berusaha menerima, meski hati ini belum menjadi miliknya. Akan tetapi, jika kenyatannya Dea yang akan aku lamar, jujur aku tidak bisa.
Bukan karena Dea tidak baik, melainkan dia adalah sahabat dari Jauza, gadis yang aku cintai. Tidak mungkin aku bisa menikahi Dea, jika hatiku adalah milik sahabatnya.
Masih membekas kejadian di ruangan luas yang telah mempertemukanku dengan gadis pilihan Ayah. Akhirnya mengajak diskusi antara kami berdua saja pun kuusahakan. Tatapan kami bertemu di udara, ketika aku mengajak Dea untuk mengobrol di belakang rumahnya, sebelum lamaranku disahkan.
"Dea, apa kamu tau aku adalah orang yang akan melamar kamu hari ini?" Aku bertanya untuk mengawali obrolan, sekaligus mencari tahu jawaban dari rasa penasaran.
Perlahan Dea mengangguk. Yah, tebakanku benar, dia mengetahui kalau akan dijodohkan denganku, tetapi dia tidak ada penolakan.
"Kenapa? Apa ada yang salah sama perjodohan ini?" Dea pun bertanya dengan alis mengerut. Aku menatapnya dengan bingung, tidak tahu harus memulainya dari mana.
"Kamu tau aku menyukai Jauza, bahkan jauh sebelum rencana perjodohan ini mencuat. Kalau kamu tau aku yang akan dijodohkan dengan kamu ... kenapa kamu enggak nolak?" Aku bertanya begitu hati-hati.
"Karena aku juga menyukai kamu, Dif." Jawaban Dea membuatku semakin sulit menjelaskan. Ini tidak benar, Ayah menjodohkanku dengannya karena sebuah jabatan, ini salah ... ini harus batal.
"Pernikahan tanpa cinta memang ada yang berakhir bahagia, tapi percaya, ini salah. Sebelum terlanjur aku mohon hentikan dan kamu tolak ini," titahku tegas.
"Kenapa enggak kamu terima aja, Dif?" tanyanya masih kekeh ingin melanjutkan perjodohan ini.
"Aku enggak bisa. Kamu tau aku suka sahabat kamu. Bahkan waktu itu aku minta kamu buat bantu aku cari tau tentang Jauza."
"Iya aku tau. Tapi ini perjodohan, seiring waktu kamu akan mencintai aku juga " Dea menyahut dengan enteng.
"Kamu tau kalau sebuah pernikahan dilandasi keterpaksaan cuma mendatangkan luka? Kita justru cuma akan saling melukai." Aku berusaha membuatnya membuka mata. Bagaimana mungkin aku menikah dengannya sedangkan ada nama sahabatnya di dalam sana.
"Dif ...."
"Tolak dan batalkan, atau kamu akan menyesal?"
"Mas Nadif!"
Pekikan nyaring membuatku tersadar dari lamunan. Ternyata Tora memanggil sejak tadi."Kenapa?" Aku menoleh pada lelaki di ambang pintu.
"Sarapan, bentar lagi Mas Nadif harus ke kantor."
Aku langsung melipat sajadah serta melepas sarung yang kukenakan. Rasa khawatir mulai mengusik, takut kalau Jauza akan berhenti menunggu jika tahu sahabatnya yang telah dijodohkan denganku. Suatu hari aku akan memberitahunya, di waktu yang tepat, insyaallah.
Bahkan Almarhumah Ibu pernah mengatakan kalau Jauza adalah gadis baik, dan dia berharap aku dapat meminangnya suatu saat nanti.
Ya Allah, salahkah aku karena tidak menerima Dea? Hati ini telah terukir nama gadis lain. Izinkan aku memperjuangkan cinta ini untuk Jauza Ya Rabb.
****
Jadi DEA yang dijodohkan dengan Nadif.
Mencium bau-bau persekongkolan.Voment ditunggu.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Hijab Sakura | END
Spiritualﺑِﺴْﻢِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺍﻟﺮَّﺣْﻤَﻦِ ﺍﻟﺮَّﺣِﻴﻢ Bagaimana bisa saat tengah menunggu orang lain, gadis itu malah dilamar oleh Abang sahabatnya. Padahal ada lelaki tukang gombal yang sedang Jauza tunggu. Namun, mereka percaya, tidak ada yang salah ketika cinta d...