Luka dan Kemunafikan
Rintik hujan membuat mata enggan mengalihkan pandangannya, seperti pelupuk yang hendak meluncurkan tetesan ke pipi. Bumi layaknya aku, yang basah karena langit yang menangis. Aku berharap alam mendukung untuk membalut luka. Meski kesakitan ini dibuat sendiri, karena meminta suami untuk menikah dengan sahabatku sendiri. Sesak? Tentu, tetapi itulah jalan yang aku pikir lebih baik.Sekuat tenaga menahan diri agar tidak terisak, terlebih saat mengingat Mas Nadif akan pergi ke kamar Dea suatu hari nanti. Itu haknya, tetapi dadaku terasa sangat sakit, membayangkannya saja sangat membuat sesak.
Aku terduduk di kursi ujung toko bunga, tempat favorit untuk merenung. Toko yang berdominan dengan warna putih membuat kesejukan semakin terasa. Tidak lama, datang sapaan dari arah samping dan berhasil membuyarkan lamunan.
"Jangan melamun, kesambet nanti!" tegurnya membuatku tersenyum kecut.
Aku terkejut karena kedatangannya begitu tiba-tiba. Terlebih, kami baru bertemu lagi setelah pertunangan Mas Nadif berlangsung. Keluargaku dan keluarganya begitu terpukul, lelaki di depanku saat ini bahkan memusuhi sebentar. Kecewa, jelas Bang Akbar rasakan, dialah yang pertama menolak keras.
"Udah lama enggak ke sini, perkembangan yang cukup pesat buat toko kamu," ucapnya setelah mengedarkan pandangan. Alhamdulillah, toko bunga kini lebih berkembang setelah aku membuka kedai kopi juga di sampingnya.
"Alhamdulillah, Bang. Semua ini, 'kan, juga berkat doa orang-orang yang sayang sama aku." Buru-buru aku mengusap wajah agar tidak terlalu sendu di mata orang lain.
"Doa aja enggak cukup, ini semua juga kerja keras kamu, Za."
Beruntungnya memiliki Bang Akbar yang mempunyai kehangatan hati. Bahkan setelah kejadian di mana dia menyerahkanku untuk Mas Nadif, lelaki itu tidak memiliki kebencian pada kami.
"Biar aku pesenin kopi, ya?" Aku menawarkan kopi dan dia mengangguk setuju. Aku memesan kopi hitam kesukaannya.
"Tumben ke sini?" tanyaku setelah kembali duduk.
"Ada urusan sama klien, kebetulan dia minta ketemu di sini. Katanya, sih, temennya Nadif."
Aku membelalakkan mata, klien Bang Akbar adalah teman Mas Nadif? "Siapa?"
"Namanya Pak Yoga."
Aku langsung terkekeh geli, Kak Yoga sudah dipanggil Bapak. "Pak Yoga? Harus pakai Pak, ya?"
Bang Akbar ikut terkekeh. "Kan, dia klienku, Za."
Aku mengangguk. Lucu ketika mengingat kelakuan Kak Yoga yang sering mencuri sepatuku saat kuliah. Menjengkelkan, tetapi membuat hariku penuh warna dengan kemarahan. Mendadak teringat Kak Malvin yang sudah membantuku mencari Mas Nadif saat itu. Mungkin nanti bisa menanyakan kabarnya pada Kak Yoga.
Bang Akbar berdeham, membuat perhatianku teralihkan. Dia kemudian menatapku dengan pandangan tidak tenang. "Em, rumah baik, 'kan?"
Aku tahu pertanyaan lelaki itu mengarah ke mana, pasti semua orang tengah mengkhawatirkan perasaanku yang akan dimadu.
"Baik," sahutku singkat. Rasanya ingin mengatakan lebih, tetapi lidah terasa kelu dan hanya mampu mengeluarkan satu kata, meski akan membuat siapa pun dapat mengartikan kalau itu nada tidak baik-baik saja.
"Aku kecewa, tapi itu keputusan kamu." Bang Akbar berucap seraya melempar senyum kecut.
Aku penasaran apakah dia masih menyimpan rasa untukku, sampai terlahir rasa kecewa pada dirinya, sedangkan aku sudah menjadi milik orang lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Hijab Sakura | END
Spiritualﺑِﺴْﻢِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺍﻟﺮَّﺣْﻤَﻦِ ﺍﻟﺮَّﺣِﻴﻢ Bagaimana bisa saat tengah menunggu orang lain, gadis itu malah dilamar oleh Abang sahabatnya. Padahal ada lelaki tukang gombal yang sedang Jauza tunggu. Namun, mereka percaya, tidak ada yang salah ketika cinta d...