My Hijab Sakura 11

923 111 0
                                    

Lelaki Idaman

"Rasa cinta memang datang begitu mudah, tetapi begitu sulit ketika ia harus dihilangkan."

~~~~

"Astagfirullah." Berkali-kali aku beristigfar. Aku merasakan pusing yang luar biasa. Sejak pagi tadi, tubuh sudah menggigil, mungkin karena pulang larut malam dari rumah Bang Akbar, sehingga kini terserang gejala masuk angin atau semacamnya.

Aku duduk di halte seraya mengetik pesan pada pemilik toko bunga untuk meminta izin, hari ini tidak dapat masuk kerja.

Tubuhku bergetar hebat, merasakan pusing yang luar biasa, bahkan mendadak merasa mual. Sembari menunggu kendaraan umum, aku duduk dan bersandar pada kursi, berusaha menahan tubuh yang semakin gemetar.

Namun, pikiranku justru terarah pada sikap Dea yang akhir-akhir ini sangat aneh. Saat tadi aku meminta tolong padanya untuk mengantar pulang, gadis itu menolak, meski dengan halus. Namun, sikapnya terlihat berbeda, saat dulu dia rela meninggalkan aktivitasnya demi menolongku dalam hal apa pun, tetapi beberapa menit yang lalu semua itu terasa hilang. Dea memilih untuk pulang dengan berbagai alasan. Padahal kepala ini terasa sangat pusing dan tidak sanggup berjalan, meski akhirnya kupaksakan.

Sedangkan Fadol, pemuda itu tengah ada rapat dalam kegiatan kampusnya. Aku tidak mungkin mengganggunya.

Tidak lama, aku melihat sebuah angkot berjalan menuju ke arahku. Dengan tubuh sempoyongan aku berusaha berdiri seraya berpegangan besi halte, kemudian melambaikan tangan untuk menghentikan angkot tersebut.

"Lailahilallah." Kepalaku sangat pusing. Tubuh lemah ini langsung melayang dan membentur tanah.

"Asyhadu allaa illaa haillallaah. Wa asyhadu anna muhammadan rasuulullaah."

~~~

Aku mengerjap, merasakan tubuh begitu hangat. Tidak lama tersadar, kalau selimut sudah menutupi tubuh sampai dada.
Perlahan aku membuka mata yang terasa berat, kemudian melihat ke sekeliling.
Aku tengah tidur di sebuah kamar asing, ini bukanlah kamarku. Lalu, aku di mana?

Aku langsung berusaha duduk di kasur ketika menangkap penampakan seorang gadis di sisi ranjang.

"Marwah?" pekikku ketika sadar, yang duduk di pinggir kasur adalah Marwah, Adik Mas Nadif.

"Kakak udah baikan?"

"Aku di mana?" tanyaku lalu memijit pelipisku untuk mengurangi sakit kepala yang mencekam.

"Kakak di rumahku. Aku yang bawa ke sini, soalnya pas angkot yang aku tumpangi nemuin Kakak pingsan di halte, aku bilang sama yang punya angkot buat bawa Kakak ke rumah ini, karena Kakak juga bergumam enggak mau dibawa ke klinik, sekaligus aku enggak tau rumah Kakak juga." Marwah menjelaskan panjang lebar.

Aku mengingat kejadian saat aku pingsan, mungkin kebetulan Marwah adalah salah satu penumpang angkot itu. Beruntungnya aku bisa bertemu dengan Marwah, sehingga gadis itu menolongku.

"Kakak makan, ya, biar aku suapin?"
Aku langsung menggeleng dengan tawaran Marwah. Saat ini belum berselera untuk makan.

"Kak, Mas Nadif lagi beli obat di apotek, bentar lagi pulang. Kalau Kakak belum makan sampai Mas Nadif pulang, nanti Marwah yang dimarahin. Soalnya Mas udah pesen buat pastiin Kakak makan, biar nanti langsung minum obat," cerocos Marwah membuatku tersenyum samar.

"Tapi Kakak enggak nafsu makan," kataku masih menolak.

"Mau disuapin sama aku?" Suara pemuda itu menginterupsi. Ia berdiri di ambang pintu kamar, membuatku dan Marwah terperanjat.

Pemuda itu lalu menghampiri kami dengan menenteng satu plastik obat yang sepertinya telah dia beli di apotek.

"Susah banget, sih, dibilangin. Kalau tambah sakit gimana? Kalau emang enggak mau disuapin Marwah, biar aku aja yang suapin," omel Mas Nadif. Laki-laki itu lalu mengambil piring berisi nasi dan ayam kecap dari tangan adiknya.

"Enggak perlu, Mas. Biar aku makan sendiri." Mana mungkin aku disuapi olehnya, itu tidak boleh terjadi.

"Nggak apa-apa, Kak. Mas Nadif juga biasa suapin Ibu dulu." Marwah menyeletuk, membuat posisiku semakin tidak mungkin untuk menolak lagi.

Namun, aku sedikit kaget saat mendengar ucapan Marwah kalau Mas Nadif biasa menyuapi ibunya. Sungguh, wanita mana yang tidak akan luluh jika mendengar atau melihat kalau seorang anak laki-laki begitu menyayangi ibunya.

"Tapi aku bisa makan sendiri, kok." Aku berucap dengan harapan kalau Mas Nadif tidak akan menyuapiku.

"Yakin bisa makan sendiri?" tanyanya lagi.

Aku mengangguk. "Iya."

Piring di tangan Mas Nadif lalu diberikan padaku. "Ya, udah kalau gitu."

"Makasih udah nolongin Kakak, ya?" ujarku pada gadis yang berdiri di sisi ranjang.

Marwah mengangguk. "Marwah ke dapur dulu, mau beres-beres."

Gadis itu langsung pergi meninggalkan kamar, menyisakan aku dan Mas Nadif. Bagaimana ini? Tidak mungkin juga aku menyuruhnya pergi dari kamar ini. Aku menggeser tubuhku sedikit menjauh dari posisi Mas Nadif.

"Awas kalau sampai makanannya enggak habis." Mas Nadif mengomel seraya menyentil keningku dengan pelan. Hal itu sedikit membuatku terkejut.

Wajahku kian memanas, perlakuannya tadi memang sederhana, tetapi mampu membuat jantungku hampir lepas.

Pemuda itu dengan telaten memisahkan obat-obat yang dia beli di apotek untuk aku minum. Betapa beruntungnya jika suatu hari aku sakit dapat dirawat oleh suami seperti Mas Nadif yang telaten dan perhatian.
Astagfirullah, apa yang aku pikirkan? Apa aku tengah berharap pada lelaki di hadapanku ini? Apa aku benar-benar menyukai laki-laki yang begitu baik meski menjengkelkan dengan gombalan recehnya?

Jujur, sikapnya membuat nyaman. Dia yang suka bercanda, sekaligus bisa berubah dewasa seketika, membuat suasana hati ketika bersamanya tidak membosankan. Akan tetapi, apa ada cinta untuknya di dalam hati ini? Entahlah, aku hanya takut menaruh cinta untuknya, karena ada Dea yang juga mencintainya. Aku teringat, bahwa Mas Nadif tidak lagi mengirim spam pesan untuk membangunkanku beberapa hari ini, dan mendadak ada kekosongan yang tidak terisi.

Bahkan aku merindukan suara Mas Nadif ketika mengumandangkan adzan, sayang baru sekali mendengarnya.

Bukan hanya tampan, tetapi dia begitu alim walau penampilannya memang mengikuti anak zamannya, jaket jeans begitu melekat. Akan tetapi, jika diperhatikan penampilannya berubah setelah wisuda. Lebih rapi dan dewasa.

"Astagfirullah."
Kenapa aku malah memuji lelaki di hadapanku berulang kali. Maafkan aku ya Allah, hamba telah tergoda dengan ketampanan yang ciptaan-Mu miliki.

"Kenapa?"
Pertanyaan itu langsung membuatku cepat-cepat mengalihkan pandangan. Lagi-lagi aku ketahuan tengah meliriknya.

"Enggak apa-apa."

"Jangan keseringan natap gitu, kalau naksir tau rasa," katanya dengan kikikan menyebalkan.

Mengapa sifat menjengkelkannya selalu dapat membuatku gugup. Ucapannya memang menggelikan, tetapi ampuh membuat siapa pun salah tingkah berada di dekatnya.

"Obatnya minum, ya? Atau mau sekalian disuapin juga?" cetusnya menawarkan lagi.

"Mas Nadif apaan, sih? Aku, kan, bisa sendiri."
Lihat, dia hanya terkekeh, lalu melempar senyum manis andalannya.

"Kali aja pengen, tapi dipendem."

"Apanya?" tanyaku bingung.

"Pengen disuapin sama orang ganteng, tapi malu-malu kingkong."

Aku terkekeh. Penuturannya yang berusaha menghibur sedikit meredakan sakit kepala ini. Meski aku harus menggigit bibir bawah untuk menahan senyum yang ingin mengembang.

"Tu, kan, senyum-senyum gitu. Pasti sebenernya mau."

Astagfirullah, salah terus.

****

Gemes banget sih.

Gombal terus tapi enggak bosan, malah bikin deg-degan.

Kasih voment ya.

My Hijab Sakura | ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang