Pilihan
Datang membawa serta Om Fairus, aku mendatangi rumah Jauza Madia Alsinta untuk mengkhitbahnya. Memenuhi janji yang pernah terucap sebelum berangkat magang.
Namun, posisi di mana gadis itu telah dilamar oleh orang lain juga, membuat situasi sedikit rumit.
Bahkan aku berpikir ribuan kali untuk datang menepati janji, meski Jauza begitu terlihat marah setelah mengetahui kepulanganku yang tidak tepat waktu.
Sungguh, tidak ada niat mengecewakannya apalagi membuatnya menjadi serumit ini. Jika saja Akbar tidak memberiku kesempatan, aku tidak mungkin muncul di hadapannya yang akan menikah dengan lelaki lain.
"Saya minta maaf atas kesalahan saya yang memberi janji pada Jauza untuk mengkhitbahnya sepulang dari magang, tanpa memberitahu niat baik saya kepada walinya langsung." Aku berucap membuka obrolan di ruang tamu rumah Pak Galih Sujarmo, ayah Jauza.
"Tapi saya telah pulang dan berniat memenuhi janji yang pernah saya ucapkan, bahwa saya kemari memiliki niat baik untuk mengkhitbah putri Bapak," sambungku panjang.
Pak Galih menoleh pada istrinya yang duduk di sebelahnya. "Kenapa Uza enggak bilang sama kita dari awal?"
Tante Dija hanya menggeleng tanpa mengatakan sepatah kata pun. Sepertinya mereka terkejut dengan kedatanganku, tentu, karena seharusnya tidak ada lamaran lagi bagi gadis yang akan segera menikah.
"Tapi, dia telah dilamar dan dua minggu lagi akan menikah dengan laki-laki lain." Pak Galih menjelaskan. Aku pun sudah tahu, sebab Akbar lebih dulu menghubungiku diam-diam di belakang Jauza sebelum akhirnya dia menyerahkan segalanya.
"Jika boleh, biarkan Jauza yang menjawabnya untuk memilih di antara lamaran kami," pintaku dengan nada memohon. Semoga, gadis itu akan memaafkan kekhilafan yang telah membuat janjiku teringkari. Lagi pula, tidak adil jika Akbar menyerahkan Jauza begitu saja, sedangkan dia sudah menunggu lamarannya diterima juga. Akan jahat jika aku merebut gadis itu ketika tahu keduanya akan menikah dalam waktu dekat.
"Saya berharap, putri Bapak dan Ibu memiliki jawaban terbaik untuk kami, terutama untuk keponakan saya." Om Fairus membantu menambahinya, membuatku tersenyum lega.
"Kamu ke kamar Jauza dan tanyakan padanya," pinta Pak Galih pada istrinya.
Tante Dija lalu pamit untuk ke kamar putrinya, sedangkan kami menunggu di bawah.
Semoga Jauza akan memahami keadaanku yang tidak dapat pulang tepat waktu. Insiden kehilangan ponsel dan keterbatasan saat magang menjadi alasanku tidak dapat menghubungi Jauza. Apalagi masa kerja yang harus diperpanjang, jika memaksa pulang maka risikonya adalah dipecat.
Baru beberapa menit menunggu rasanya jantung berdegup kencang, tangan berkeringat dan gelisah. Aku tahu seberat apa Jauza menunggu laki-laki yang berjanji mengkhitbahnya pulang, pasti sangat menyakitkan.
Setelah menunggu la, akhirnya Tante Dija turun dari lantai atas. Wajahnya pucat dan tampak tidak begitu cerah. Apa ada sesuatu yang terjadi? Ya Allah, tolong aku kali ini.
"Pa." Wanita itu memanggil suaminya. Keduanya menjauh dan berbicara berdua. Aku semakin khawatir dan tidak tahu harus berbuat apa.
"Yang sabar." Om Fairus menepuk punggungku.
Kedua orang tua Jauza kembali duduk. Pak Galih mengusap wajahnya, tampak frustrasi.
"Sebelumnya terima kasih atas niat baiknya, tapi ... Jauza memilih untuk tetap melanjutkan pernikahannya dengan Akbar."
~~~~
Tangan bergetar hebat, rasanya duniaku telah runtuh saat jawaban khitbah tidak sesuai doa. Banyak hari berat aku lewati di masa magang, ketika menyelipkan harapan hari akan membaik saat pulang, ternyata salah.
"Astagfirullahal'adzim." Aku mengusap wajah dengan kasar.
Kini aku tengah mendengarkan ceramah seorang Ustadz di sebuah masjid, setelah sebelumnya mampir untuk salat isha.
Entah kebetulan atau Allah tahu cara menghibur umat-Nya yang tengah linglung, ceramah Ustadz tersebut membahas perihal jodoh.
"Dari mana pun asalnya, siapa pun dia, kalau jodoh, pasti akan bertemu dan bersatu. Tapi, kalau bukan jodohnya, mau dikejar sampai cape pun Allah Subhanahu wa taala punya seribu cara untuk memisahkannya."
Apa aku dan Jauza memang tidak berjodoh?
"Ya Allah, kalau boleh aku masih meminta kepada-Mu, aku menginginkan gadis bernama Jauza Madia Alsinta untuk jadi istriku."
Rasanya ingin memaksakan doa agar aku dan Jauza menjadi jodoh. Sungguh, rasanya berat sekali melepasnya.
Setelah ceramah selesai aku keluar, lalu mengambil motor di parkiran.
"Nadif?"
Suara seorang perempuan membuatku terperanjat.Aku menoleh dan menemukan gadis yang pernah dijodohkan denganku beberapa bulan lalu berdiri di samping motor.
"Udah pulang? Aku pikir enggak akan melihat kamu lagi," ucapnya seraya memamerkan senyum.
Tidak ingin banyak bicara, aku pun pamit untuk beranjak dari sana. "Maaf, aku harus pulang."
"Kenapa, Dif?" Dia kembali membuka suara. "Apa kamu pikir aku enggak tau? Aku tau Jauza akan menikah dengan orang lain. Itu artinya kamu enggak jadi sama dia?"
Aku menghela napas, rasanya sesak sekali mendengar ucapannya. "Bukan urusanmu."
"Kenapa kita enggak lanjutin perjodohan kita aja?" tanyanya seraya melihat ke arah tanganku.
Apa dia berani berucap demikian karena tidak melihat cincin di jariku sebagai tanda sudah memiliki pasangan? Mengapa sikapnya tidak berubah.
"Maaf, Dea. Aku rasa kamu udah tau dan aku enggak perlu ulangi ucapanku yang dulu," sahutku telak.
Namun, gadis itu masih berusaha menjawab. "Apa kamu enggak bisa move on? Jauza mau nikah, apa kamu enggak akan membalasnya untuk nikah juga?"
Ya Allah, kenapa gadis ini sangat menguji kesabaranku yang tengah tidak stabil. "Kalaupun iya, itu tidak dengan kamu."
"Kenapa kamu dingin banget, Dif? Apa salahku?" tanya dengan nada menahan marah dan tangis.
"Karena sejak awal kamu tau aku menyukai Jauza tapi kamu memaksakan perjodohan itu." Aku langsung beranjak sebelum pembicaraan semakin dalam.
Ya Allah, jika Jauza benar-benar bukan jodohku, lindungi dia dari kekecewaan. Sesungguhnya Jauza adalah gadis yang telah membuatku semakin ingin memperbaiki diri. Dekatkanlah aku pada-Mu, agar aku tidak kehilangan yang lainnya.
.
.
*****
Ada penambahan part di revisi kali ini.
Suka?
Jangan lupa kasih dukungan lewat vote & komen.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Hijab Sakura | END
Spiritualﺑِﺴْﻢِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺍﻟﺮَّﺣْﻤَﻦِ ﺍﻟﺮَّﺣِﻴﻢ Bagaimana bisa saat tengah menunggu orang lain, gadis itu malah dilamar oleh Abang sahabatnya. Padahal ada lelaki tukang gombal yang sedang Jauza tunggu. Namun, mereka percaya, tidak ada yang salah ketika cinta d...