Surat
"Kala rasa masih dipermainkan, hanya bertahan yang menjadi bukti kesetiaan."Pov Nadif.
~~~~
Kutatap sinis pria di depanku. Tidak kusangka, rumah yang tengah ditinggal sang pemilik dapat digeledah orang asing sepertinya.
Ya, kuanggap ayahku sendiri adalah orang asing, karena dia bukan lagi pemilik rumah, melainkan tamu.Aku meminta Jauza segera pulang ke rumah, meski tahu wanita itu tengah sibuk di toko bunga. Namun, melihat surat yang tergeletak di atas meja ruang tamu, membuatku yakin Ayah sudah membaca diagnosis dokter untuk Jauza.
"Assalamualaikum."
Suara istriku memecahkan keheningan. Dia datang dan langsung menyalami mertuanya.
Jauza menatap penuh tanya, lalu duduk di sebelahku dengan wajah pucat."Ada apa?" tanyanya dengan lirih.
"Ayah ke sini untuk mengunjungi kalian, tapi justru saya menemukan sesuatu yang penting dari rumah ini," ungkap lelaki itu dengan keangkuhannya.
Tidak menunggu lama, Ayah menggeser kertas putih di atas meja ke hadapanku dan Jauza.
"Jelaskan apa maksud isi surat ini!" pintanya yang jelas-jelas tidak masuk akal.
Aku terkekeh sumbang. "Bukannya udah dibaca? Udah seberapa jauh Ayah menggeledah rumah ini?"
Jauza menatapku, lalu menggeleng tidak setuju. Aku tahu dia tidak menyukai sikap tidak sopanku terhadap Ayah, tetapi kekecewaan yang bertubi-tubi datang karenanya, rasanya tidak ada lagi rasa hormat untuknya.
"Kenapa kalian enggak bilang ini sama Ayah? Apa kalian anggap Ayah sebagai orang lain?" tanya lelaki paruh baya itu dengan nada tidak suka. Jauza hendak menjawab, tetapi aku menyelanya.
"Ini rumah tangga Nadif, jadi yang harus mengurus adalah kepala keluarga di rumah ini, bukan orang lain," sahutku. Sebenarnya, ingin sekali menghentikan percakapan ini, aku takut Jauza merasa tidak nyaman. Tidak, aku tahu memang istriku sudah tidak nyaman sejak melihat surat diagnosis miliknya.
"Mandul? Gimana cara bisa punya anak yang akan merawat masa tua kalian, kalau wanita di rumah ini memiliki gangguan pada rahimnya-"
"Yah!" Teriakan lolos dari mulutku. Aku tidak percaya kalimat itu begitu mudah keluar tanpa menghargai wanita di sampingku. Lihat, bahkan mata Jauza sudah memerah menahan tangis.
"Kalau memang Jauza belum bisa memiliki momongan, kita bisa mengadopsi anak sembari berusaha." Tiba-tiba Jauza menyeletuk setelah diam sejak tadi. Kulihat, jari tangannya tidak ambil diam, beberapa kali tangan putih itu dimainkan secara asal. Dia pasti sedang melawan rasa sakit di hatinya.
"Adopsi? Jangan anggap remeh, karena merawat anak yang enggak lahir dari rahim sendiri itu sulit. Kasih sayangmu enggak sepenuhnya seperti anak sendiri," sahut Ayah menolak rencana Jauza secara terang-terangan. Padahal, pendapat istriku sudah cukup benar dan tidak merugikan siapa pun.
Tidak ingin berlanjut, aku menengahi. "Ini keluarga Nadif, serahkan sama aku sepenuhnya."
"Ayah lebih berpengalaman ketimbang kalian. Tidak ada salahnya kalian berkonsultasi sama yang lebih tua. Lalu, apa artinya pernikahan tanpa anak?"
Lagi, ucapan Ayah begitu tidak terkontrol, membuat amarahku terpancing lebih dalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Hijab Sakura | END
Espiritualﺑِﺴْﻢِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺍﻟﺮَّﺣْﻤَﻦِ ﺍﻟﺮَّﺣِﻴﻢ Bagaimana bisa saat tengah menunggu orang lain, gadis itu malah dilamar oleh Abang sahabatnya. Padahal ada lelaki tukang gombal yang sedang Jauza tunggu. Namun, mereka percaya, tidak ada yang salah ketika cinta d...