Kabar Buruk
"Sejauh apa kami berusaha, jika takdir mengatakan hal lain, maka tidak ada pilihan untuk lari."
~~~
Seminggu lalu, aku memutuskan keluar dari rumah Mas Nadif dan pulang kembali ke pelukan Papa. Pria itu sampai sakit karena memikirkan anaknya yang dilanda masalah. Menyesal? Tidak ada gunanya, kini keputusanku begitu bulat untuk melepas tali ikatan antara aku dan Mas Nadif. Bukan tidak lagi mencintainya, tetapi lelah dengan situasi membingungkan.
Tidak mungkin aku terus hidup demikian, dan keputusan bercerai telah keluar dari bibir ini. Meski Mas Nadif menolak keras sampai menjemputku lagi, tetapi keputusan ini sudah terpatri dan tidak dapat kuubah lagi.
Sakit memang harus mengatakan hal seburuk itu pada lelaki yang kucintai. Ya Allah, ampuni aku yang sudah menjadi istri tidak sempurna untuknya.
Aku kembali membebani seseorang yang begitu baik, memintanya membantuku meski sejak awal sudah merepotkannya. Bang Akbar, aku memintanya datang untuk menjadi pengacara di perceraian kami. Memalukan, tetapi tidak ada lagi yang perlu ditutupi jika ini kenyataannya.
Sungguh, jalan Allah tidak ada yang tahu. Sejauh apa kami berusaha, jika takdir mengatakan hal lain, maka tidak ada pilihan untuk lari.
Mengingat bagaimana perjuangan kami bersatu, rasanya sesak. Aku dapat menunggunya kembali sampai waktunya, tetapi kini tidak ada lagi kata menunggu untuk memperbaiki hubungan antara aku, Mas Nadif dan Dea. Waktu tidak lagi berarti jika luka yang terus menemani. Apa aku akan hidup dengan raga yang berjalan dengan jiwa yang mati? Aku tidak sanggup jika demikian.
"Jauza!" Pekikan itu menginterupsi. Aku menoleh dan segera bangkit ketika lelaki yang ditunggu telah datang. Tidak sendiri, Bang Akbar bersama orang lain, di sebelahnya ada gadis berjilbab yang terlihat sangat cantik. Apa dia rekan kerjanya? Atau mungkin temannya. Entahlah, kini aku harus fokus lebih dulu pada pokok yang dituju.
"Udah nunggu lama, ya?" tanya Bang Akbar basa-basi.
"Enggak juga, kok. Ayo, duduk." Aku mempersilakan keduanya untuk duduk.
"Kenalin, Za, ini Afra, insyaallah akan jadi calon istriku."
Baru saja aku akan menanyakannya, Bang Akbar lebih dulu memperkenalkan gadis itu. Tebakanku salah, ternyata gadis dengan hidung mungil itu adalah calon istrinya.
"Afra." Gadis itu mengulurkan tangan untuk berjabat.
"Jauza."
Tampak Bang Akbar tersenyum lebar, sangat terlihat bagaimana kebahagiaannya saat ini. Dia memang pandai memilih pasangan, tidak hayal karena lelaki itu pun salih dan tampan.
Kami duduk di meja yang sama. Akan tetapi, mata tidak luput dari pandangan di depan, masih merekam kedua insan di hadapanku yang tidak mengurangi senyum mereka. Sesekali keduanya bercanda tanpa canggung, walau bergurau perihal sepele, sampai membuatku terdiam untuk memberi mereka waktu.
"Kamu ngajak ketemu karena apa?" Setelah lama sibuk sendiri, Bang Akbar memulai obrolan.
"Em ...." Bagaimana cara memulainya, dia tengah bahagia sedangkan aku akan memberi kabar buruk.
Kedua orang di depanku menatap menunggu, mendadak tidak dapat tenang sampai tangan memainkan ujung lengan baju. Sungguh, sebenarnya malu memberi tahu pada lelaki yang dulu mencintaiku, sedangkan kini aku akan memberi pernyataan kalau lelaki yang dulu dipilih akan kutinggalkan. Apa lebih baik tidak usah memberitahunya? Bagaimana ini.
"Za?" Bang Akbar memanggil.
"Apa ini bersifat pribadi? Biar aku pergi sebentar supaya kalian bisa lebih leluasa berbicara." Afra bertanya dengan nada khawatir. Dia benar-benar bisa membaca situasi yang ada.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Hijab Sakura | END
Spiritualﺑِﺴْﻢِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺍﻟﺮَّﺣْﻤَﻦِ ﺍﻟﺮَّﺣِﻴﻢ Bagaimana bisa saat tengah menunggu orang lain, gadis itu malah dilamar oleh Abang sahabatnya. Padahal ada lelaki tukang gombal yang sedang Jauza tunggu. Namun, mereka percaya, tidak ada yang salah ketika cinta d...