Rumah Sakit
Tubuh baret-baret sekaligus pegal, tetapi kekhawatiran belum mereda saat menatap pemuda yang tengah terbaring dengan luka tusukan di perutnya.
Kasus perampokan telah ditangani kepolisian, beruntung di toko ada CCTV yang dapat membantu mengusutnya.
Kejadian semalam benar-benar tidak terduga, sampai-sampai Mama pingsan ketika mendengar kabar tersebut.
Semalaman aku menunggu Nadif bangun dari pasca operasinya yang selesai jam 2 dini hari tadi. Pemuda itu kehilangan banyak darah, membuatku khawatir terjadi sesuatu padanya.
Beruntung Mama dan Papa mengizinkanku menjaga Nadif di rumah sakit. Karena mereka memaklumi jika orang yang sudah menolongku.
Sembari menunggu Nadif bangun, aku membaca sedikit ayat Al-Qur'an, melantunkannya lirih.
Detik selanjutnya aku terperanjat saat pemuda itu memperlihatkan pergerakannya, membuatku lega. Perlahan matanya terbuka."Suara kamu buat aku tenang," ucapnya lirih, tetapi masih dapat kudengar.
"Alhamdulillah kamu bangun juga." Aku langsung beranjak dari kursi, tetapi dia menahanku dengan mencekal pergelangan tangan.
"Jangan panggil Dokter dulu. Sebentar," pintanya tidak masuk akal.
"Tapi Dokter harus cek keadaan kamu pasca operasi," jelasku masih tidak diindahkannya.
Ia menyuruhku duduk kembali. Aku pun menuruti kemauannya.
"Makasih, Za, udah selamatin aku," ucapnya membuatku mengerutkan kening.
"Kan, kamu yang nyelamatin aku, justru aku yang harus berterima kasih sama kamu."
"Enggak, Za, kamu yang nyelamatin aku, sampai relain lepas hijab kamu demi aku. Sungguh, itu bukan hal sepele."
Aku terdiam, seharusnya dia tidak mengatakan itu, karena justru membuatku tidak enak. Sebab, dialah yang mempertaruhkan nyawanya untuk menolongku.
"Za, jangan bilang keluargaku kalau aku mengalami musibah ini. Aku enggak mau keluargaku khawatir." Lagi-lagi dia meminta sesuatu yang mengejutkan.
Mengapa dia ingin menutupi peristiwa yang dia alami ini?
"Tapi kalau keluarga kamu enggak dikasih tau, terus gimana jelasin ke mereka kalau kamu enggak pulang beberapa hari karena dirawat di sini?" tanyaku membuatnya sedikit meringis, mungkin jahitannya baru dia rasakan.
"Aku mau minta tolong. Tolong kamu ke rumah, bilang ke keluarga kalau aku enggak pulang karena .... " Dia meringis kesakitan lagi.
"Udah, jangan dipaksain buat ngomong." Aku takut jika sakitnya semakin parah kalau dia banyak bicara.
"Bilang aku enggak pulang karena ... ada tugas kampus ke luar kota. Kasih alasan itu, Za. Ambilin baju ganti buat aku sekalian, biar dikira ke luar kota beneran," sambungnya menjelaskan.
Dia benar-benar akan menyembunyikan hal ini dari keluarganya. Ini tidak benar, seharusnya keluarga yang paling utama untuk tahu keadaannya.
"Mau, ya, Za? Demi aku," ujarnya seraya tersenyum menjengkelkan. Wajah nakalnya kembali saat dia kesakitan begini, sungguh tidak tahu diri.
Tidak ada pilihan lain selain menurutinya, karena pasti dia memiliki alasan mengapa memilih menyembunyikannya. "Ya udah, aku bakal ke sana."
"Sekalian kenalan sama calon mertua, kan, enggak salah."
Ah, dia itu suka sekali bercanda.
~~~~
Melangkah seraya mencari nomor rumah yang tertulis di kertas. Ternyata tidak mudah, sepertinya harus bertanya pada orang sekitar.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Hijab Sakura | END
Spiritualﺑِﺴْﻢِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺍﻟﺮَّﺣْﻤَﻦِ ﺍﻟﺮَّﺣِﻴﻢ Bagaimana bisa saat tengah menunggu orang lain, gadis itu malah dilamar oleh Abang sahabatnya. Padahal ada lelaki tukang gombal yang sedang Jauza tunggu. Namun, mereka percaya, tidak ada yang salah ketika cinta d...