Kemarahan
Pov Jauza.
Hatiku berkecamuk setelah Mama melewati pintu kamar untuk mengabari lelaki bernama Nadif mengkhitbahku. Namun, kekecewaan begitu dalam sampai berubah menjadi amarah.
Tindakan Bang Akbar benar-benar membuatku frustrasi, dia dengan ikhlas menyerahkanku untuk Nadif yang sudah mengingkari janjinya, meski pernikahan kami sebentar lagi digelar. Hal itu semakin membuatku merasa bersalah.
Dengan kemarahan memuncak, aku memberi tahu Mama kalau lamaran Mas Nadif kutolak, berniat meneruskan perjuangan Bang Akbar.
Namun, mengapa rasanya sakit sekali. Berbulan-bulan menunggu laki-laki yang selalu kusebut namanya dalam doa, tetapi ketika kembali justru aku menolak khitbahnya.
Alasan apa pun yang dia berikan rasanya tidak dapat diterima, sebab kegelisahan yang dia sebabkan beberapa bulan ini membuatku begitu kecewa.
Tidak bohong, melihat matanya aku sangat merindukan Mas Nadif lebih dari siapa pun. Seharusnya pertemuan kami malam itu adalah kebahagiaan, melepas rindu setelah berbulan-bulan tidak bertemu. Akan tetapi, situasi yang berbeda menjadi sekat.
"Mas Ali ...," gumamku saat menatap nisan bernama Alidan.
Mengapa ketika tidak baik-baik saja, aku merindukan pemuda yang dulu menemaniku berhijrah itu. Bahkan abangnya sudah menelepon berkali-kali meminta bertemu, tetapi aku takut dia marah karena aku memutuskan meneruskan pernikahan kami.
Akhirnya aku memutuskan pulang dan mengirimi pesan pada Bang Akbar untuk bertemu di kafe. Tidak mungkin juga menghindarinya terus.
Tidak lama, telepon masuk, kali ini dari Mama.
"Assalamu-"
"Za! Akbar kecelakaan, Za!"
Aku bergeming, pandangan mendadak kabur, seperkian detik tubuh kehilangan keseimbangan. Tadi Mama bilang Kecelakaan?
"Bang Akbar?"
"Iya, Za. Sekarang dia di rumah sakit."
~~~~
Kaki melangkah seperti tidak menapak pada lantai, rasanya tubuh melayang seperti pikiran. Bang Akbar kecelakaan dan kini dirawat di rumah sakit.
Trauma lama seperti kembali lagi. Aku takut dengan pikiran sendiri, seolah dibawa kembali ke masa di mana Mas Ali kecelakaan bersama abinya. Selain kabar mengejutkan itu, aku harus menelan kepahitan saat tahu keduanya tidak tertolong setelah dibawa ke rumah sakit.
Aku mohon Ya Allah, jangan Kau ulangi rasa sakit itu kali ini. Aku takut sekali.
"Ma." Aku memanggil wanita yang tengah menunggu di luar ruangan bersama uminya Bang Akbar.
"Za. Astagfirullah, tangan kamu gemetar sekali." Mama menggenggam tangan seraya mengusap keningku yang sudah berkeringat.
"Di mana Bang Akbar? Gimana keadaannya?" Berusaha bertanya meski takut mendengar kenyataan jika kabar itu tidak sebaik harapan.
"Dia tengah ditangani Dokter. Ayo, duduk." Mama mengajakku duduk, lalu memberikan sebotol air mineral.
Setelah meneguk air putih, aku kembali pada kesadaran. Apa Bang Akbar mengalami kecelakaan karena hendak menemuiku? Tidak, aku mohon jangan.
"Ma ...." Aku menggenggam tangan Mama begitu erat.
"Tenang, Za. Akbar pasti enggak apa-apa," ucap Mama berusaha menghibur. Namun, aku masih takut jika laki-laki itu kecelakaan saat akan menemuiku. Bagaimana jika keadaannya parah? Ini semua salahku karena tidak segera mengangkat teleponnya.
"Ini salah Uza, Ma." Aku mulai menangis tidak terkendali.
"Apa maksud kamu, Za? Ini musibah." Umi menyela obrolan kami.
"Gara-gara Uza, Bang Akbar jadi kecelakaan, Mi." Sungguh, jika aku tidak mengabaikannya, mungkin ini tidak akan terjadi.
"Ini bukan salah kamu, Nak."
Umi mengusap punggungku.Tidak lama, Dokter keluar dari UGD.
"Dokter, gimana keadaan anak saya?" Umi langsung bertanya mewakili kami.
"Anak Ibu baik-baik saja, hanya mengalami luka ringan. Tapi ...." Dokter itu menggantungkan ucapannya.
"Kenapa, Dok?" tanyaku mulai was-was.
"Dia ingin bertemu dengan wanita bernama Jauza. Apa dia ada di sini?"
"Saya, Dok. Saya Jauza," pekikku antusias.
"Anda boleh masuk ke dalam sembari menunggu proses pindah ruang rawat yang akan diurus pihak keluarga. Kalau gitu saya permisi."
Setelah Dokter dan perawat pergi, aku menatap bingung pada dua wanita paruh baya di depanku.
"Ayo, masuk! Akbar ingin bertemu kamu, periksa keadaannya juga, ya." Umi memerintah. Aku pun mengangguk dan langsung melangkah masuk ke ruang UGD.
Ketika masuk, tubuh lelaki itu terbaring di brankar, tangannya masih diinfus. Saat aku mendekat, dia tersenyum, meski aku melihat tangannya sudah diperban dan bajunya terkena noda darah.
"Jangan nangis," ujarnya.
Bagaimana aku tidak menangis, rasa trauma masih begitu dalam setelah adiknya meninggal dalam kecelakaan bersama abinya.
"Ceroboh! Apa enggak bisa hati-hati dalam berkendara?" makiku.
Dia langsung meletakkan jari telunjuk di bibirnya. "Jangan berisik. Aku enggak apa-apa."
Aku menyeka wajah dari sisa air mata. "Bang, maaf Uza enggak angkat teleponnya. Pasti karena itu Abang jadi gini-"
"Enggak. Ini musibah yang udah diatur Allah, Za," potongnya.
Dia lalu menatap sendu. "Za, kenapa kamu memutuskan untuk meneruskan pernikahan kita?"
Apa saat seperti ini dia masih bisa membahas itu?
"Aku ikhlas kalau kamu bersamanya. Jangan salah paham, Za, aku tau kamu juga mencintainya. Terbukti dari setianya kamu menunggu dan percaya dia akan pulang."
"Tapi dia-"
"Bukan ingkar janji. Nadif punya alasan kenapa dia pulang terlambat, bukan niat dia mengingkarinya, Za," potong Bang Akbar dengan percaya diri. Sepertinya telah banyak pembicaraan di antara mereka.
"Za, semalam aku bermimpi. Alidan menemuiku di mimpi, di sana ada kamu. Tapi, Ali mengajak Abang buat menjauh dari kamu. Aku pikir ini isyarat kalau aku harus mengikhlaskan kamu."
Aku menggeleng, tidak mungkin dia menafsirkan mimpi seenaknya. "Itu cuma mimpi, Bang."
"Aku tau kamu sangat mencintai Nadif. Aku tau kamu menolak khitbah darinya karena begitu marah padanya." Bang Akbar berucap penuh penekanan.
"Jangan nunggu aku berubah pikiran setelah menyerahkan kamu ke Nadif, karena aku enggak akan lepasin kamu setelahnya," sambungnya terus mencerocos tanpa memberiku waktu untuk menjawab.
"Jangan ambil keputusan yang akan membuat kamu menyesal di kemudian hari. Pikirkan lagi sebelum undangan pernikahan kita tersebar, Za."
Apa aku terlihat seplin-plan itu? Apa iya aku memilih melanjutkan pernikahan dengan Bang Akbar hanya karena marah dan ingin menghukum Mas Nadif?
"Za, kamu ingat apa kata Ali bin Abi Thalib?" tanyanya membuatku menggeleng.
"'Jangan mengambil keputusan dalam keadaan marah.'"
*****
Benar apa kata Ali bin Abi Thalib.
Kasih voment-nya ya.
Terima kasih banyak buat yang setia baca.
Yuk, ikuti terus kisahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Hijab Sakura | END
Spiritualﺑِﺴْﻢِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺍﻟﺮَّﺣْﻤَﻦِ ﺍﻟﺮَّﺣِﻴﻢ Bagaimana bisa saat tengah menunggu orang lain, gadis itu malah dilamar oleh Abang sahabatnya. Padahal ada lelaki tukang gombal yang sedang Jauza tunggu. Namun, mereka percaya, tidak ada yang salah ketika cinta d...