Akad
"Berpisah atau menyatu, semua tergantung takdir yang Allah tetapkan. Tugas kita menerimanya dan ikhlas."
~~~
"Saya terima nikah dan kawinnya Jauza Madia Alsinta binti Bapak Galih Sujarmo untuk menjadi istri saya, dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."
"Sah?"
"Sah!"
Semua orang langsung mengatakan 'sah' ketika kalimat itu selesai terucap dari bibirku. Selanjutnya, kuterima punggung tangan ini dicium olehnya, wanita cantik yang memakai gaun pengantin putih, dengan balutan hijab yang menaungi. Kemudian, aku mendekat dan mencium keningnya penuh kehangatan, kubiarkan lama sampai fotografer mengambil gambar kami.
Setelahnya, aku menyentuh ubun-ubunnya dan berdoa keberkahan serta kebaikan untuknya.
"Alhamdulillah." Aku berucap syukur setelah menghalalkan gadis yang sejak bertemu di toko bunga sudah mencuri perhatian.
Akhirnya, setelah bertemu di masjid atas kehendak Allah lewat Ustaz Abidin, aku kembali mengkhitbah Jauza ditemani Om Fairus dan Ustaz Abidin.
Satu hari setelah dikhitbah, Jauza memberi jawaban mengejutkan karena dia akhirnya bersedia menerima.
Bahkan aku begitu penasaran dan ingin menanyakan alasan dia menerima lamaran yang ke dua dari laki-laki yang sama.
Jauh sebelum akhirnya dipertemukan lagi dengan Jauza karena Ustaz Abidin dan Ustazah Aini, aku sudah lebih dulu bertemu Akbar.
Aku pikir keduanya akan melanjutkan niat baik untuk menikah, tetapi pria itu mengatakan kalau dia tidak ingin memaksa ketika hati Jauza milik orang lain.
Namun, Akbar selalu menekankan kalau dia akan mengambil Jauza sewaktu-waktu jika wanita itu disakiti pria lain. Sebab, dia memiliki banyak peluang mendapatkan Jauza, meski dia mengalah walau tinggal sejengkal lagi menghalalkan wanita itu.
Setelah seharian lelah dengan rangkaian acara pernikahan, aku melaksanakan salat isha di kamar hotel tempat pernikahan kami digelar.
Dua salam menjadi tanda selesainya salat.
Namun, wanita yang sudah sah menjadi istriku itu tidak dapat ikut menjalankan salat bersama, karena sudah lebih dulu melaksanakannya.Kulipat sajadah, melepas baju koko dan hanya menyisakan sarung. Aku ingin ke kamar mandi untuk mencuci muka dan berganti baju, tetapi sepertinya Jauza belum selesai membersihkan dirinya di dalam kamar mandi.
"Za!" Kuketuk pintu kamar mandi pelan. Namun, tidak ada sahutan.
"Udah selesai belum?" Tidak lama, pintu itu terbuka, memperlihatkan Jauza yang memakai hijab disampirkan di kepalanya. Bahkan rambutnya masih basah karena dia baru saja membasuh wajah.
"Astagfirullah, Mas Nadif!" Dia terperanjat saat kepalanya baru terangkat dan melihatku yang telanjang dada. Reflek, dia menutup wajahnya dengan hijab. Ah, apa wanita itu malu melihat suaminya begini?
"Kenapa?"
"Pakai baju, Mas," sahutnya seraya berjalan melewatiku. Kupanggil dia, sehingga Jauza memutar tubuhnya lagi.
Kekehan lolos dari bibir ini. "Kita, kan, udah jadi suami-istri, jangan kaget kalau lihat suami telanjang dada gini."
"I-iya, Mas." Dia sampai terbata menjawabnya.
"Tolong siapin handuk sama kaus oblong, aku bersih-bersih dulu," pintaku disanggupinya.
Aku menggosok gigi, lalu mencuci wajah yang tampak sekali kelelahan dari pantulan cermin.
"Mas, ini baju sama handuknya." Jauza memberikan handuk dan baju tanpa masuk, dia mengulurkannya lewat pintu yang sepertinya sengaja tidak dia buka seluruhnya.
Sontak pikiran jail muncul di kepala. Aku menerima handuk sekaligus menarik tangannya.
"Mas Nadif!" pekiknya terlihat panik.
"Maaf, sengaja," ucapku membuatnya mendengkus dan segera kembali ke kamar.
Setelah selesai, aku mengembalikan sarung ke koper dan menatap wanita yang duduk di kasur seraya melihat ponselnya. Mengapa rasanya gugup sekali sampai ragu untuk ikut duduk di ranjang.
Namun, aku melangkah untuk duduk di sebelah Jauza seraya berusaha setenang mungkin.
"Lihatin apa, sih?" tanyaku basa-basi untuk membuka obrolan.
"Foto tadi siang," sahutnya singkat dan terdengar tidak ingin banyak bicara. Kita tidak mungkin akan terus canggung seperti ini, kan? Nadif yang dulu adalah pria aneh yang ahli mencairkan suasana, mengapa kini sulit sekali.
"Za, makasih." Pernyataanku berhasil membuatnya menoleh, wajahnya masih sama seperti dulu, manis sekali.
"Buat apa?"
"Karena mau aku halalkan," jawabku lantang.
Wanita itu menunduk, teka-teki apa lagi yang sedang dia mainkan? Aku harus belajar mengerti dari sikapnya yang kadang membingungkan.
"Lucu, ya, Za. Kita sama-sama dikasih nomor telepon satu sama lain, tapi enggak ada di antara kita yang menghubungi lebih dulu." Aku kembali membuka obrolan dan itu berhasil membuatnya meletakkan ponsel di meja dan kembali menatap ke sini seraya tersenyum.
"Iya. Waktu itu aku enggak punya nyali untuk menghubungi duluan," katanya dengan suara lembut.
"Lebih tepatnya enggak punya nyali buat membuka hati untuk orang baru. Itu aku."
Jauza membulatkan matanya, terlihat lucu dengan bibirnya yang kemerahan terbuka sedikit.
"Tau enggak, kenapa aku mau mengkhitbah kamu lagi setelah tau yang mau dijodohkan denganku sama Ustadz Abidin ternyata kamu?" tanyaku membuatnya menggeleng.
"Karena aku ingat kata Ali bin Abi Thalib. Katanya, 'Jika kamu mencintai seseorang, biarkan dia pergi. Jika dia kembali, berarti dia milikmu', terbukti kamu kembali ke dalam hidupku, Za, lewat Ustadz Abidin dan istrinya."
"Sama," pekiknya sedikit mengejutkan.
Apa dia merasakan hal yang sama?""Sama apanya?"
Dia mengubah posisi duduknya menghadap ke arahku, lalu berucap, "Aku juga berpikir kayak gitu buat nerima kamu lagi."
Ah, jadi alasan dia menerima lamaran ke dua ku karena itu. Jodoh memang tidak pernah tertebak.
Aku menepuk kasur, memintanya untuk mendekat. "Jangan terlalu jauh, aku mau menyentuh kamu."
Jauza tampak terperangah, wajahnya memerah dengan mata membulat.
Tidak melihat ada tanda-tanda dia akan beranjak, aku memutuskan mendekatinya dan segera menyentuh ubun-ubunnya dengan tangan kanan. Lalu tangan satunya menggenggam tangannya.
"Bismillahirrahmanirrahim. Allahuma inni as'aluka min khairiha wa khairi ma jabaltaha 'alaihi. Wa 'audzubika min syarriha wa syarri ma jabaltaha 'alihi. Aamiin."
Selesai membaca doa, aku pun menatapnya dengan jantung berdegup hebat.
"Boleh aku cium tangan kamu?" tanya Jauza dengan suara pelan.
Aku memberikan tanganku untuk dicium. Setelahnya aku berucap, "Mau cium yang lain juga boleh."
.
.
*****
Mengbaper seketika di part ini.
Yuk, kasih voment buat pengantin baru.
Jangan lupa ajak yang lain baca juga ya.
Biar banyak yang ikutan baper sama Nadif dan Jauza.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Hijab Sakura | END
Spiritualﺑِﺴْﻢِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺍﻟﺮَّﺣْﻤَﻦِ ﺍﻟﺮَّﺣِﻴﻢ Bagaimana bisa saat tengah menunggu orang lain, gadis itu malah dilamar oleh Abang sahabatnya. Padahal ada lelaki tukang gombal yang sedang Jauza tunggu. Namun, mereka percaya, tidak ada yang salah ketika cinta d...