Cinta yang Tidak Akan Terbagi
"Bagaimana aku akan membagi cinta, jika yang kumiliki hanya satu hati dan satu cinta? Dan itu hanya untuk bidadari surgaku." Nadif.
~~~~
"Menikahlah dengan Dea." Ucapan yang keluar dari bibir istriku mencabik habis hati ini. Bahkan, aku tahu dia pun tengah menyakiti dirinya sendiri. Matanya tidak akan pernah bisa berbohong, terbukti dari benda bening yang meluncur bebas di pipinya.
"Kenapa? Kenapa kamu menyuruh aku begitu?"
Jauza mengusap air matanya dan berusaha mengangkat kepala untuk menatapku. Bibirnya bergetar, beberapa kali dia menggigitnya, aku tahu dia menahan rasa sakit yang sama.
"Mas ... mungkin ini karma buat aku, karena udah merebut kamu dari sahabat aku."
Aku tertawa sumbang, tidak percaya dengan penuturan Jauza yang sangat tidak masuk akal. "Merebut siapa dari siapa?!"
Suaraku meninggi karena tidak tahan, membuat dia menatap begitu kaget.
Astagfirullah, maafkan aku yang sudah terlanjur marah ini.Aku langsung mendekatinya dan memeluk gadis itu. "Maaf, bukan maksud aku membentak kamu. Aku cuma enggak mau kamu mengatakan hal aneh kayak gitu lagi."
"Mas, aku sadar, mungkin memang ini yang terbaik. Aku mohon! Mungkin aku sulit memiliki anak karena karma udah membuat Dea enggak jadi dilamar sama kamu."
Lagi, aku mendengar kalimat menyakitkan itu. Aku yang salah bukan Jauza, Ya Allah. Aku mencintai wanita di depanku karena rasa yang tumbuh atas ridho-Mu, lalu mengapa harus serumit ini.
Aku mengurai pelukan darinya, kutelangkup wajahnya, lalu menatap matanya sangat dalam.
"Sekarang aku tanya, apa aku salah mencintai kamu? Bayangkan kalau posisinya terbalik, aku mencintai Dea, tapi Dea mencintai orang lain, terus Dea menolak lamaran aku, apa aku harus marah? Apa suami Dea harus menerima karma atau hukuman dari Allah? Bukankah kamu sadar, Za, bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah kehendak Allah," jelasku panjang. Kenapa dia masih saja tidak paham, haruskah Jauza memikirkan perasaan orang lain, sedangkan Dea saja tidak memedulikannya.
Ia menggenggam kedua tanganku yang masih menelangkup wajahnya. Jauza juga menatapku begitu dalam dengan mata memerah.
"Aku pun sayang sama kamu, Mas, tapi insyaallah aku ikhlas kalau memang kamu harus menikah dengan wanita lain supaya mendapatkan keturunan." Jauza berucap dengan nada bergetar. Terlihat begitu tidak bisa menyembunyikan rasa sakitnya.
Kepalaku sampai pening memikirkan tingkah Jauza yang sudah teracuni perkataan Ayah. Mengapa? Mengapa harus Dea?"Bukannya lebih baik memiliki keturunan dengan wanita lain dan darah daging kamu sendiri, daripada mengadopsi anak orang lain?"
Jauza, kenapa kamu begitu bersikukuh? Kenapa kamu begitu tidak mengerti apa yang aku inginkan. Akan lebih baik menua bersama meski tanpa keturunan bagiku.
"Cukup, Za." Aku mengakhiri perdebatan itu. Aku hendak ke kamar mandi, tetapi suara Jauza menghentikan langkahku.
"Keturunan adalah yang dibutuhkan oleh sebuah keluarga. Mungkin Dea bisa-"
"Apa itu yang kamu mau? Ini yang bisa bikin kamu seneng, hah?" Habislah kesabaranku menghadapinya. Ucapannya mulai melantur, kata-katanya keluar seolah dia tidak peduli lagi dengan perasaan suaminya.
"Akan aku lakukan. Jangan pernah mengeluh saat nanti apa yang kamu mau udah aku turuti. Jangan pernah minta apa pun setelah ini Jauza."
Pertengkaran satu bulan lalu itu kembali berputar di kepala. Satu bulan juga Jauza berusaha membuat keluarganya mengikhlaskan semua ini terjadi pada putrinya. Akhirnya aku menerima permintaan Jauza dengan syarat tunangan lebih dulu, sebab tidak mungkin aku menikahi Dea saat pernikahan kami belum genap satu tahun.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Hijab Sakura | END
Spirituellesﺑِﺴْﻢِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺍﻟﺮَّﺣْﻤَﻦِ ﺍﻟﺮَّﺣِﻴﻢ Bagaimana bisa saat tengah menunggu orang lain, gadis itu malah dilamar oleh Abang sahabatnya. Padahal ada lelaki tukang gombal yang sedang Jauza tunggu. Namun, mereka percaya, tidak ada yang salah ketika cinta d...