Perjodohan
"Jika cinta tidak dapat saling memiliki, biarlah dicintai menjadi salah satu jalan yang baik." Nadif Jaya Arjuna.
~~~~
Tujuh hari sudah Ibu meninggalkanku dan Marwah. Begitu banyak hal yang berubah, sepi dan terasa ada yang kosong, sepertinya itu akan selalu hadir di hidup kami berdua.
Aku kembali ke kampus untuk menyelesaikan beberapa hal. Beberapa pandangan mahasiswa lain membuatku mengernyit, apa ada yang salah denganku hari ini?
Tangan terulur menyentuh sudut bibir yang memar, aku baru mengingatnya. Pasti mereka menatapku karena ini. Luka di sudut bibir dan merah di pipi adalah perbuatan Ayah, setelah pertengkaran terjadi lagi ke dua kalinya.
Jangan tanya mengapa, karena ini semua Ayah lakukan sebab aku masih bersikukuh menolak perjodohannya.
Saat urusan di kampus selesai, aku langsung salat di musala kampus. Sepertinya ini akan menjadi salat terakhir di sini, karena aku akan segera meninggalkan kampus.
Saat baru saja selesai melaksanakan salat dzuhur, samar-samar aku mendengar ada gadis yang tengah melantunkan ayat Al-quran di sebelah saf milik laki-laki. Suaranya lembut dan menenangkan, meski terdengar lirih.
Selesai melipat sajadah dan meletakkannya kembali di tempatnya, aku keluar.
"Nadif!"
Suara gadis yang tengah duduk di depan musala membuatku terperanjat.Aku langsung memutar tubuh menghadap gadis itu sesaat sebelum pergi. Namun, siapa dia? Aku seperti tidak mengenalnya, dan ketika diperhatikan pun masih belum dapat mengenali gadis berhijab itu.
"Manggil saya?" tanyaku sedikit tidak yakin.
Gadis itu lalu mengangguk dan melempar senyum. Melihat senyumnya aku seperti mengenal gadis itu. Saat diperhatikan kembali wajahnya, itu seperti Dea.
"Dea?" Aku berusaha memastikan, dan gadis itu kembali mengangguk.
"Masyaallah, ternyata kamu, aku pikir siapa," ucapku lalu menghampirinya.
"Pangling, ya?"
Aku ikut duduk di kursi. "Iya, soalnya baru lihat kamu pakai hijab."
"Iya Dif, kamu seneng, kan, lihat aku pakai hijab? Enggak aneh, kan?"
Aku langsung tersenyum simpul mendengar celotehnya. "Alhamdulilah kalau kamu sudah siap menutup aurat kamu, Ya. Enggak ada kata aneh kalau wanita muslimah memakai hijab dan menutupi auratnya, justru kecantikannya akan berlipat karena itu kewajiban."
Dea tersenyum mendengar penuturanku. Akan tetapi, jujur penampilannya memang sangat jauh berbeda dari sebelumnya. Bahkan dia memakai 'aku-kamu', bukan lagi 'lo-gue'.
"Habis sholat, ya?" tanya Dea yang langsung kuangguki. "Itu bibir kamu kenapa?"
Reflek memegang ujung bibir yang sedang memar ketika mendengar Dea bertanya. "Enggak apa-apa, ini cuma luka ringan."
Gadis itu menyodorkan tisu yang dia ambil dari tas jinjingnya.
"Nih, lap dulu darah yang ada di bibir kamu, atau mau aku lapin?"
Aku terdiam mendengar tawarannya, entah kenapa aku malah berharap sahabat dialah yang menawarkan hal itu. Sepertinya rasa kagumku pada Jauza semakin mengembang. Apa Allah sedang menunjukan jodohku atau justru takdir sedang mempermainkan perasaan.
Sedangkan aku sadar, nanti malam harus menemui keluarga Pak Jamoko untuk acara perjodohan dengan putrinya. Semua itu aku lakukan karena paksaan Ayah, dan luka di bibir inilah yang aku dapatkan pagi tadi karena membantah. Sudah memberontak, tetapi paksaan begitu kuat.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Hijab Sakura | END
Spiritualﺑِﺴْﻢِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺍﻟﺮَّﺣْﻤَﻦِ ﺍﻟﺮَّﺣِﻴﻢ Bagaimana bisa saat tengah menunggu orang lain, gadis itu malah dilamar oleh Abang sahabatnya. Padahal ada lelaki tukang gombal yang sedang Jauza tunggu. Namun, mereka percaya, tidak ada yang salah ketika cinta d...