Keturunan
"Kapan, nih, Ibu sama Bapak punya momongan? Udah berapa bulan menikah, loh. Jangan ditunda, ya, Bu, biar ada junior."
Ucapan salah satu karyawan toko bunga beberapa waktu lalu, membuat hati ini sedikit terusik.
Awalnya masih sama, menikmati setiap hari menjadi seorang istri. Membuatkan kopi susu untuk suami, menyiapkan bajunya, merapikan kamar dan menyiapkan bekal.
Namun, hari ini aku menyadari, ada kekosongan yang belum terisi. Dalam suatu pernikahan, pasti mendapat keturunanlah yang menjadi tujuan salah satunya.
Mendadak, kepalaku hanya diisi dengan pertanyaan, 'Kenapa aku belum hamil?'.
Mengingat, sudah sepuluh bulan kami menikah, aku belum juga mengandung.
Ya, aku sangat sadar kalau banyak di luar sana, pasangan yang bahkan harus menunggu bertahun-tahun untuk dikaruniai seorang anak.Akan tetapi, entah mengapa rasanya gelisah. Bukan menyalahkan kehendak-Nya, tetapi aku merasa baik-baik saja, dalam arti lain, aku tidak merasa ada yang aneh dalam diriku ataupun Mas Nadif. Mengingat kami juga tidak menunda memiliki momongan.
Ponsel sudah di tangan. Aku ingin meminta Mas Nadif untuk mengantar ke dokter kandungan. Tidak masalah bukan, jika memeriksanya lebih dulu? Setidaknya, memastikan kalau tubuhku siap jika suatu saat nanti dititipi seorang malaikat kecil oleh Allah.
"Mas Nadif bakal merasa ini terburu-buru enggak, ya?"
Mendadak takut lelaki itu malah berpikir aku terlalu ngotot. Apalagi sepuluh bulan adalah waktu yang singkat jika dibandingkan dengan puluhan tahun yang orang lain lewati.
Aku mengurungkan niat untuk meneleponnya. Mungkin, menelepon Mama adalah jalan yang baik agar aku lebih tenang.
"Assalamualaikum, Za."
Tedengar salam dari Mama ketika tersambung."Waalaikumsalam, Ma. Mama lagi ngapain?"
"Mama lagi bikin kue, katanya Papa lagi pengen kue, nih. Tumben telepon? Biasanya kamu akan ke rumah kalau kangen."
Aku menggigit bibir bawah karena ragu. Aku bingung harus menanyakan perihal momongan pada Mama atau tidak.
"Za, kamu masih di sana, 'kan?"
"Iya, Ma, Uza masih di sini. Aku mau nanya sesuatu, Ma," ucapku sedikit ragu, tetapi mungkin tidak ada salahnya bertanya pada Mama yang sudah pengalaman.
"Nanya apa?"
"Dulu Mama menikah berapa lama baru mengandung Uza?"
Terdengar Mama terkekeh di sana. "Dua bulan nikah, Mama langsung hamil. Waktu itu padahal Mama belum ada persiapan matang."
"Mama menstruasinya lancar enggak dulu?" tanyaku lagi.
"Enggak. Dulu pas muda Mama kadang ada yang sebulan dua kali haid, ada juga kadang dua bulan baru haid. Memang kenapa? Kamu telat haid, ya?"
Suara Mama berubah heboh, terdengar antusias. Namun, masalahnya bukan itu yang ingin aku katakan.
"Apa kamu telat haid, Za? Berapa minggu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
My Hijab Sakura | END
Spiritualﺑِﺴْﻢِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺍﻟﺮَّﺣْﻤَﻦِ ﺍﻟﺮَّﺣِﻴﻢ Bagaimana bisa saat tengah menunggu orang lain, gadis itu malah dilamar oleh Abang sahabatnya. Padahal ada lelaki tukang gombal yang sedang Jauza tunggu. Namun, mereka percaya, tidak ada yang salah ketika cinta d...