My Hijab Sakura 13

911 98 28
                                    

Kesadaran Cinta

"Cinta yang datangnya dari Allah, senantiasa menuntun melewati jalan yang benar."


Pov Jauza.

"Dan aku mencintainya karena Allah, berharap dia bakal jadi bidadariku, dan surga untuk anak-anakku."

Aku terdiam ketika Mas Nadif mengatakan seperti itu. Entah mengapa muncul rasa kecewa mendengar dia telah memiliki pujaan hatinya sendiri. Pernah tebersit di benak berharap dia belum memiliki siapa pun di hatinya, tetapi justru membuatku tersadar, aku telah mengharapkannya. Apa benar ini adalah cinta? Karena saat dia mengatakan menggagalkan perjodohannya demi gadis lain, rasanya aku cemburu dan ingin menempati posisi gadis yang beruntung mendapat perlakuan itu.

"Dia adalah kamu Jauza."

Aku langsung mengangkat kepala, menatapnya yang menyebut namaku.

Tubuh terasa sulit bergerak, suaranya seolah menggema di telinga. Tangan sudah basah karena keringat yang dihasilkan dari rasa gugup dan jantung yang sudah berdetak tidak beraturan. Aku tidak yakin pada pendengaranku sendiri.

"Ma-maksud kamu ... kamu menolak perjodohan itu karena ...." Ucapanku menggantung, rasanya tidak ingin salah dalam mengartikannya.

Mas Nadif mengangguk dan menatapku dengan penuh arti, seperti banyak hal yang ingin dia sampaikan.

"Maaf kalau aku lancang, aku memang mengagumi kamu semenjak bertemu di toko bunga. Aku yakin kamu adalah gadis sholehah yang patut untuk diharapkan oleh semua laki-laki yang ingin menjadi imammu, salah satunya adalah aku."

Tanganku mulai gemetar karena tidak tahu harus menjawab apa. Mungkin ini adalah jawaban Allah selama ini atas pertanyaanku.

Aku kira, Mas Nadif hanya doyan menggombal, tetapi ternyata dia memilih menolak perjodohan dirinya dengan gadis lain hanya karena menyukaiku. Astagfirullah, kenapa begitu gugup menerima kenyataan ini.

Aku kembali terfokus padanya, ketika laki-laki dengan baju koko dan sarung yang masih melekat pada dirinya kembali menyeletuk, "Aku akan berangkat magang besok, Marwah ditinggal bersama Om di sini, dan aku akan pulang empat bulan lagi karena jangka waktunya segitu."

Aku memilih diam, mendengarnya berpamitan. Kini aku benar-benar tidak tahu harus bertingkah seperti apa di hadapan Mas Nadif.

"Jauza, kalau kamu bersedia, tunggu aku empat bulan untuk pulang dan melamarmu."

Kejadian satu minggu lalu masih begitu membekas. Sungguh setiap kali aku mengingatnya jantung dan pikiran tidak menentu.

Ya Allah, maafkan aku karena juga mencintainya, dan bersedia menunggunya pulang. Maafkan aku karena membuat perjodohannya dengan gadis lain itu gagal.

Ya Allah, semoga keputusan yang telah aku ambil tidak akan mendatangkan penyesalan di kemudian hari. Lancarkan niat kami.

Aku melangkah pada meja di kamar, mengambil kotak berukuran sedang pemberian Mas Nadif, lalu membukanya setelah duduk di sisi kasur.

Entah mengapa, hati bergetar saat tangan ini menyentuh hijab yang masih terlipat dengan baik di kotak berwarna merah muda itu.

Pemuda itu rela menguras dompetnya hanya karena hijab sakura yang dia pesan dari luar negeri. Dulu pun, Mas Ali membelinya dari sana.

Aku memegang kedua hijab dari laki-laki yang berharga. Keduanya berbeda, karena Mas Ali membelikanku hijab sakura berwarna dasar biru wardah dan motif bunga sakura merah muda. Sedangkan Mas Nadif memberikan hijab sakura warna dasar putih dan bunga sakura yang berwarna merah muda. Tidak jauh berbeda, tetapi tujuan mereka sama, sama-sama ingin hijab itu terus menaungi kepalaku.

My Hijab Sakura | ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang