Wisuda
"Waktu menjadi sahabat, ketika sebuah kerumitan tidak dapat dipahami dalam waktu singkat. Jika saja waktu dapat berkata, mungkin aku tidak merasa tersekat."
Pov Jauza.
~~~
Selesai menunaikan salat bersama, aku melendot di dada bidang Mas Nadif karena dia yang memintanya. Dia mengecup puncak kepalaku beberapa kali, membuatku senang karena diperlakukan begitu baik. Seolah aku ratunya, dia rajanya.
"Boleh enggak, bantuin aku buka toko bunga?" Aku menggigit bibir bawah kuat-kuat, takut dia menolak.
"Bukannya kamu riset makanan buat buka restoran?" Dia bertanya dengan nada heran.
"Iya. Tapi aku berubah pikiran."
"Kenapa?"
Aku tersenyum lebar saat dia menunduk melihat ke arahku. "Soalnya lebih tertarik dan berpengalaman di toko bunga, sekaligus kita pertama kali ketemu juga di toko bunga."
Mas Nadif mengangguk. "Aku setuju. Nanti aku cek keuangan buat operasionalnya."
"Aku udah nemuin kios yang akan aku sewa, dan udah aku bayar untuk lima tahun ke depan dengan uang tabungan hasil kerja sampingan selama kuliah," jelasku panjang. Sebelum menikah dengan Mas Nadif, aku memang sudah menyiapkan bisnis untuk kesibukan setelah wisuda.
"Jadi aku bantu apa buat tokonya?"
Aku menyengir. "Renovasinya."
Dia mengangguk. Ah, tidak terasa aku besok akan wisuda dan yang menghadiri bukan pacar, melainkan suami.
Mas Nadif mengerutkan kening saat menatapku, lalu bertanya, "Kamu kenapa senyum-senyum gitu? Lagi bahagia banget kayaknya."
Aku semakin melebarkan senyuman saat dia menyadari istrinya ini tengah bahagia. "Iya. Soalnya nanti wisuda bukan ditemenin pacar, tapi suami."
Mas Nadif terkekeh, lalu mencubit hidungku. "Apalagi suaminya ganteng."
"Ish, kepedean."
Hening. Aku sibuk dengan pikiran yang sempat menggangu beberapa hari terakhir.
"Za, ada yang mau aku sampaikan-"
"Aku dulu," pintaku memotong ucapannya, membuat lelaki itu kemudian mengangguk mengalah.
"Dea enggak datang ke pernikahan kita. Sebenarnya dia suka sama kamu. Apa mungkin dia marah karena aku nikah sama laki-laki yang dia suka?"
Mas Nadif tampak terkejut, tidak lama, detik kemudian dia menghela napas dan seperti frustrasi akan sesuatu juga.
"Za, bisa enggak kamu janji jangan marah sama aku habis ini?" tanyanya lebih pantas disebut memohon.
"Kenapa?"
"Janji dulu," pintanya lagi.
Aku memberikan jari kelingking. Dia mengerutkan kening, tetapi setelahnya dia menautkan jarinya juga. Seketika ada getaran luar biasa menjalar di seluruh tubuh saat kulit kami bersentuhan. Mengapa masih saja gugup bersentuhan dengannya.
"Janji," ucapku yakin.
Dia menghela napas sebelum berbicara. "Kamu masih ingat waktu aku bilang dijodohin sama Ayah?"
Aku mengangguk. "Waktu itu kamu menolak. Kamu berhak lakuin itu."
Mas Nadif memainkan tangannya, seperti ada yang serius terjadi padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Hijab Sakura | END
Spiritualﺑِﺴْﻢِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺍﻟﺮَّﺣْﻤَﻦِ ﺍﻟﺮَّﺣِﻴﻢ Bagaimana bisa saat tengah menunggu orang lain, gadis itu malah dilamar oleh Abang sahabatnya. Padahal ada lelaki tukang gombal yang sedang Jauza tunggu. Namun, mereka percaya, tidak ada yang salah ketika cinta d...