Hijab Sakura Jauza
Pov Nadif.
Dua salam mengakhiri salat, kemudian dilanjutkan dengan doa ataupun dzikir masing-masing.
Ada rasa bahagia menyelimuti dadaku, karena di belakang sana ada gadis yang kukagumi menjadi makmum salat di rumah saat ini.
Ya, aku mengimami Jauza karena terlambat ke masjid. Apalagi jarak rumah ke masjid lumayan jauh. Belum lagi tadi sempat ke apotek membeli obat untuk Jauza, alhasil kami memutuskan salat bersama di rumah. Beruntung gadis itu merasa membaik setelah meminum obatnya. Marwah pun sudah salat lebih dulu sebelum kami, sehingga secara kebetulan aku dan Jauza dapat salat bersama.Tidak lama, setelah selesai berdoa, aku menoleh ke belakang, gadis itu juga sudah menyelesaikan doanya. Aku memutar tubuh menghadapnya, ada sesuatu yang harus kusampaikan.
"Udah mendingan?"
Gadis itu mengangguk seraya tersenyum. Jauza memang murah senyum pada siapa pun.
"Ada yang mau aku omongin sama kamu, enggak keberatan, 'kan, kalau aku ngajak kamu ngobrol di sini?" Aku bertanya lagi untuk memastikan.
Gadis itu memperlihatkan wajah bingung, mungkin karena aku mengajaknya mengobrol di ruangan tertutup.
"Maaf, bukan maksud aku untuk ngajak kamu ngobrol di rumah. Tenang, pintu terbuka, ada Marwah di luar." Aku menjelaskan agar tidak terjadi kesalahpahaman.
"Bukan itu, tapi ini udah sore dan aku belum sempat ngabarin Mama." Jauza menjelaskan kegundahannya.
Aku tahu, aku salah telah memasukkan gadis ke rumah yang tidak berisikan orang tua untuk bisa mengawasi kami, tetapi sungguh, Marwah membawa Jauza kemari karena ingin menolong, tidak lebih.
"Maaf, karena aku udah bawa kamu ke rumah yang enggak ada pengawasan orang tuanya. Marwah bawa kamu ke sini karena mau menolong kamu. Kamu tau sendiri, aku ataupun Marwah enggak tau rumah kamu di mana," jelasku lalu mendapat kekehan darinya. Aneh, apa yang salah kali ini dengan penjelasanku?
"Enggak apa-apa. Enggak usah terus-menerus minta maaf, aku jadi enggak enak." Jauza menunduk seolah sengaja menyembunyikan senyumnya.
"Ya kalau enggak minta maaf terus minta apa? Oh, aku minta alamat rumah aja biar tau kalau mau lamar kamu." Ah, sifat lama kembali lagi, menggombal sampai membuat gadis itu membelakakkan mata.
Namun, tanpa kusadari wajahnya yang semula putih pucat kini memerah.
Aku tidak berniat untuk menggoda wanita mana pun termasuk Jauza, hanya saja aku memang senang membuat candaan agar tidak terlihat dingin seperti yang gadis lain bicarakan. Menggobal bagiku hanya untuk menutupi kecanggungan di depan gadis yang disukai."Jangan jijik sama gombalan receh seorang Nadif, kadang yang nyebelin itu yang suka ngangenin." Aku kembali membuat gadis itu terkekeh lirih. Namun, suaranya begitu lembut dan enak didengar walau itu hanya kekehan.
"Katanya mau ngomong?" Jauza bertanya setelah wajahnya yang memerah berangsur memutih kembali. Sekaligus mengingatkanku pada awal pembahasan.
"Tunggu." Aku bangkit dan mengambil paperbag kecil di atas meja yang terletak di pojokan, lalu kembali dan duduk di hadapan Jauza.
"Maaf waktu itu udah bikin kamu harus lepasin hijab buat balut lukaku pas di toko. Sekarang aku kembaliin ke kamu lagi, tapi maaf karena masih ada bercak darahnya, soalnya dicuci belum bisa bersih kayak semula." Aku menyerahkan barang tersebut yang langsung disambut olehnya.
Jauza membukanya, lalu menatap dengan sendu. Aku menyesal karena harus menjadi orang yang membuat hijab kesayangan gadis itu kotor dan rusak.
"Aku pikir kamu udah buang hijab ini." Dia berucap begitu sedih, sampai suaranya serak yang mungkin disebabkan karena menahan tangis.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Hijab Sakura | END
Spiritualﺑِﺴْﻢِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺍﻟﺮَّﺣْﻤَﻦِ ﺍﻟﺮَّﺣِﻴﻢ Bagaimana bisa saat tengah menunggu orang lain, gadis itu malah dilamar oleh Abang sahabatnya. Padahal ada lelaki tukang gombal yang sedang Jauza tunggu. Namun, mereka percaya, tidak ada yang salah ketika cinta d...