Masih Boleh Merindu?
Di sisi jalan aku menghentikan langkah, mendadak perut lapar di perjalanan ke rumah Mas Nadif. Aku berniat ke rumahnya untuk mengambil sisa pakaian, agar saat nanti sudah resmi berpisah, aku tidak perlu ke sana lagi.Berpisah sepekan saja sudah membuatku hilang arah, entah nanti akan bagaimana cara melanjutkan hariku tanpanya.
Perut mendadak mual, jangan sampai aku terkena mag. Apalagi sejauh kaki berjalan belum menemukan kendaraan umum. Ingin memesan ojek, tetapi kata Papa harus pakai taksi agar tidak kehujanan di jalan karena sudah mendung. Sayangnya, aku tidak memakai aplikasi khusus untuk pesan taksi online sejak menikah."Pengen makan." Aku bergumam karena ingin sekali makan sesuatu.
"Jauza!" Pekikan orang dari dalam mobil sedan membuatku terperanjat. Mata memperhatikan siapa di dalam sana.
"Kak Malvin?" Aku mengerjapkan mata tidak yakin.
"Mau ke mana?" tanyanya setelah keluar dari mobil.
"Mau ke rumah Mas Nadif."
"Oh, mau pulang. Gue juga mau ke sana, naik aja, yuk!" ajaknya seraya membukakan pintu.
Sepertinya dia tidak tahu kalau aku dan Mas Nadif akan segera bercerai. Terbukti dia mengira aku akan pulang ke sana. Kalau begini, tidak akan baik jika aku ke sana saat teman Mas Nadif juga akan main.
"Enggak usah, aku mau ke toko dulu."
"Ini mau hujan, Za. Nanti susah cari taksi, ayo masuk aja! Nadif enggak akan ngira gue selingkuh sama lo, haha!" Pemuda itu terbahak.
Aku semakin tidak enak menolak ajakannya berkali-kali. Akhirnya aku pun ikut di mobil Kak Malvin. Aku memilih duduk di kursi belakang, menghindari pandangan buruk orang lain.
"Habis dari rumah orang tua, ya?" Kak Malvin tiba-tiba membuka obrolan.
"Iya." Tidak tahu harus bicara apa, aku memilih diam dan menjawab seadanya.
"Tau enggak, sampai sekarang gue masih inget banget gimana perjuangan lo buat dapatin Nadif sampai minta tolong ke gue."
Ucapannya membuat hati tercubit, nyatanya perjuangan itu kini berhenti. Aku tidak lagi berjuang, melainkan menyerah dengan mudahnya.
"Makasih, dulu Kakak udah bantuin," kataku membuatnya tertawa, entah apa yang lucu.
"Harusnya gue dapat imbalan enggak, sih? Gue yang bantuin lo masa masih jomblo gini," celetuknya masih suka bergurau.
"Kan, yang suka sama Kak Malvin banyak." Aku tahu dia tidak kalah populer di kampus dulu.
"Iya naksir doang, jodoh bukan, sama aja bohong," sahutnya dengan nada pasrah.
"Tenang aja, mungkin Allah lagi mempersiapkannya. Biar penantian kamu menanti jodoh enggak sia-sia."
Sepanjang perjalanan, kami banyak berbincang, sampai tidak terasa kalau telah sampai di halaman rumah milik lelaki tukang gombal.
Namun, sampai di depan pintu membuatku bingung. Memencet bel rumah akan membuat Kak Malvin curiga, kalau tiba-tiba masuk justru akan membuat penghuni rumah kaget melihat kedatanganku.
"Mbak Uza!" Pekikan dari samping halaman membuatku menghela napas lega. Marwah datang dan memelukku tanpa sungkan. Semoga gadis itu tidak keceplosan berucap sesuatu di depan Malvin.
"Mbak ... kenapa-"
"Sssttt!" Aku langsung memotong ucapan Marwah. "Ayok masuk, enggak enak ada Kak Malvin enggak disuruh masuk."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Hijab Sakura | END
Spiritualﺑِﺴْﻢِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺍﻟﺮَّﺣْﻤَﻦِ ﺍﻟﺮَّﺣِﻴﻢ Bagaimana bisa saat tengah menunggu orang lain, gadis itu malah dilamar oleh Abang sahabatnya. Padahal ada lelaki tukang gombal yang sedang Jauza tunggu. Namun, mereka percaya, tidak ada yang salah ketika cinta d...