Chapter 7

321 44 36
                                    

Jackson menahan tawanya di depan Jimin yang duduk sambil mengobati tangannya.

" Ngetawain apa lo bangsat!?"

Ia memicing pada Jackson yang wajahnya sudah merah padam dengan mulut yang menganga seperti ikan kakap.

" Gila sih! Dikasih libur sehari aja udah main tangan. Gimana kalo libur seminggu??"

" Bacot macan gurun!!" Raut kesal tak dapa Jimin sembunyikan.

" Lo sih! Mau masuk gak pake ketuk pintu segala!"

" Heh udah ya anjir. Lo nya aja yang terlalu asyik sama si adek, jadi sampe gak denger teriakan gue!"

Jimin hanya mencebik sambil sesekali meniup lukannya yang masih basah.

" Apa perlu besok gue bawa toa orang demo kalo kesini?"

" Iya! Sekalian bawa sirine polisi sama ambulance..." Jawabnya asal.

" Anyway...sorry. Gue gak maksud ganggu kegiatan menuai benih lo.

Gue cuma mau ambil paket lo yang belum dikirim!"

" Katanya diambil sore?"

" Ya ini udah hampir sore bang*t!"

"  Oh? Iyakah...?"

Jackson mengerlingkan matanya. Wajar saja sih Jimin tidak tahu waktu. Karena ketika ia sendiri kalau sedang menikmati senam lima jari juga kadang suka begitu begitu.

" Yaudah mana paketnya?"

" Ada di kamar! Ambil aja!"

Jackson mengacungkan jempolnya lalu beranjak masuk ke dalam kamar Jimin. Sesampainya di sana, Jackson tiba - tiba berteriak.

" Jim!!!"

" Paan?"

" Lem nya gak mau lo beresin dulu???"

" BACOTTT!!!"

...

Setelah selesai membawa beberapa paket itu, akhirnya Jackson pamit dari apartemennya. Tentu saja hal itu berlangsung dengan Jimin yang selalu diledeknya.

" Sialan si kampret! Ganggu orang lagi klimaks aja.."

Bibirnya terus menggerutu sambil ia menutup pintu. Kali ini ia tak mau lupa menguncinya dengan sandi agar tak sembarang orang bisa masuk tanpa permisi. Sebenarnya kedatangan Jackson juga merupakan salah Jimin yang lupa menutup pintu. Hahaha.

Ia lalu masuk ke kamar dan mulai membenahi lemnya yang berceceran. Astaga! Jimin malu sendiri kalau ingat kejadian itu. Dasar Jackson sialan.

Setelah selesai mengganti seprai dan sebagainya, akhirnya ia bisa beristirahat. Jimin menoleh pada wastafel yang kini kondisinya sudah sangat bersih dan rapi. Tentu saja semua ini adalah ulah dari Lisa. Gadis itu benar - benar baik. BTW teringat nama Lisa, entah mengapa ia jadi tersipu.

" Anjirr...kenapa gue bisa segila ini ya?!!"

Jimin terus berdecak. Ia meraih snack di dalam kulkas lalu beranjak di depan TV. Kebiasaan kebanyakan orang. TV menyala, tapi sibuk sendiri dengan ponsel. Jimin lalu membuka lagi beberapa file suara yang ada di dalam ponselnya. Jujur saja, semua itu adalah suara hasil melepas benih yang ia rekam sendiri. Memang kesannya sangat aneh. Namun percayalah, semua itu terjadi karena ia pernah punya cita - cita untuk menjadi pemain film biru.

Oke. Ini aneh. Tapi Jimin ada alasan untuk itu. Semua ini terjadi setelah meninggalnya sang ibu. Saat itu ia benar - benar putus asa dengan hidupnya. Ia tak punya uang. Kuliahnya harus tertunda karena biaya. Juga selalu salah di mata ayahnya, beberapa anggota keluarga membencinya tanpa alasan, selalu dibandingkan dengan adiknya, dan segudang permasalahan lainnya. Termasuk yang paling berat adalah, ayahnya menikah lagi dengan wanita yang sama sekali tak Jimin restui.

The Courier (Lismin) COMPLETE ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang