#9

34 16 0
                                    

Jangan lupa vote dan komennya ^^

*****

Arwah-arwah tak pernah salah berprasangka. Merekalah jiwa-jiwa yang dipercaya lebih dekat dengan semesta yang tak lagi merangkul mereka. Ketika guncangan akan terjadi pada semesta. Ancaman serupa pisau yang dekat dengan nadi mereka. Lantas, amarah dan kesedihan saling bertumbukkan. Mengusik ketenangan. Jiwa yang serupa air jernih. Gelombang pembugar tentram. Mengeruhkan warna bening.

Rupa-rupanya, gadis di toilet kampus dengan segudang masalah pribadi kala datang bulan, dapat menjadi wadah kosong yang nyaman menyampaikan pesan.

Seorang gadis yang tengah sendiri di bilik kamar mandi, merasa seseorang mengintai dari sudut dinding.

Ketika ia menoleh, sesosok makhluk tanpa rambur, berkepa oval dengan mata memutih, memamerkan gigi-giginya yang tajam sembari siap memangsa. Gadis itu pun berteriak hingga hilang kesadaran.

Seluruh orang-orang yang panik mendengar teriakan itu, lantas memeriksa toilet perempuan. Mereka mendapati gadis itu berteriak dan meracu. Segera mereka mengangkat tubuh gadis itu untuk di bawa ke ruang kesehatan.

Nahas, tak hanya satu gadis. Belasan orang juga di bawa ke ruang kesehatan dengan alasan yang sama.

"Kesurupan!" seru salah seorang di antara mereka.

Seluruh ruang kesehatan dikerumuni orang-orang yang penasaran melihat. Dalam sekejap, halaman depan sudah serupa bazar dengan penonton yang riuh terkejut akan keunikan.

*****

Chandra dan teman-temannya berjalan lebih cepat menuju ruang kesehatan. Baru beberapa meter mereka hampir sampai, hentakan dan teriakan terasa kuat memanggil kecepatan mereka untuk segera sampai.

Dengan napas terengah-engah, para korban sudah dipegangi beberapa orang yang cukup tangguh melawan amukan mereka. Beberapa kewalahan dan memilih untuk mengikat korban di ranjang.

"Benar-benar kesurupan masal." Celetuk Helena. "Aku tak ada pengalaman ngusir arwahnya."

"Sama akupun." Hanum menggeleng. Chandra menyusul dengan perasaan tercengang.

"Sa sudah panggil beberapa kawan dari Klan Kanari untuk bantu. Mereka ada tiga orang."

"Termasuk kamu jadi empat orang, Martha." Kata Hanum.

"Termasuk sa, itu tiga orang."

"Dikit kali." Helena menyela.

"Memang dikit, dari semua mahasiswa dari Papua hanya kami Klan Kanari yang dikirim."

"Klan Kanari terkenal dengan urusan yang seperti ini, kan? Kalian kan penyembuh." Ujar Chandra.

"Iya, tapi sa belum pernah lihat sebanyak ini. Ada dua belas. Khawatir tiga orang tak cukup."

"Aduh, aku kira aku nggak bakal menemui kasus kesurupan, jadi waktu pelajaran eksorsisme aku nggak terlalu serius." Jelas Hanum.

Chandra dan Helena mengangkat tangan. Menyetujui.

Dua orang pria dari Klan Kanari datang dengan wajah panik. Tapi cukup menenangkan karena akhirnya mereka berhimpun.

"Kita orang tangani. Chandra, kalian dan beberapa metafisikawan lain bantu buat lingkaran. Sa ajari mantra untuk bantu kami tambah tenaga."

"OK."

Martha mengambil alih. Memindahkan dua belas orang korban di tengah lingkaran yang dibentuk oleh beberapa metafisikawan yang berhasil dipanggil. Tangan mereka saling menjabat.

Martha dan dua orang temannya berdiri di depan dua belas korban yang berjajar. Lantas, mereka menari sembari membaca mantra-mantra.

Aroma dupa menyeruak. Suara metafisikawan lain lirih membisikkan mantra-mantra. Korban-korban semakin histeris tak keruan. Satu per satu, roh-roh asing itu dapat dikeluarkan dari raga korban.

Satu yang paling kuat berhasil melepas ikatan dan berlari menerjang Chandra tiba-tiba. Ia mengendus kepala Chandra yang masih tercengang dengan posisinya.

"Ketemu Suddha Candrama! Selamatkan kami dari kebinasaan!" Seru roh itu.

Segera Martha menarik kerah baju korban sampai terjuntai jatuh. Ia meomaan pelipis korban dengan ibu jarinya.

Chandra masih terkesiap. Matanya terbelalak. Hanum dan Helena segera membantunya berdiri. Ia pun mengatur napas. Menenangkan debar jantungnya.

"Kamu tidak apa-apa?"

"Ketemu apa?"

*****

Eksorsisme telah dibereskan sebelum tengah hari. Semua orang telah kehabisan tenaga. Chandra masih setengah melamun dengan kata-kata roh tadi.

"Kenapa kesurupan itu bisa terjadi?" Chandra bertanya pada Martha yang baru saja mengusaikan tugasnya membagi air minum.

"Sa tak tahu pasti. Tapi, roh-roh ganggu manusia biasanya karena marah atau sedih karena terusik."

"Darimana asal mereka?"

"Biasanya mereka roh-roh yang sudah menetap di sini untuk waktu yang lama. Bisa jadi ratusan bahkan ribuan tahun, aku merasakan energi mereka yang kuat dan tua. Tapi karena ada sesuatu yang membuat mereka bangun, mereka berubah ganas, mungkin mereka merasakan energi yang kuat." Air muka Martha menjadi serius, "Waktu ko diserang? Ada dia kasih pesan?"

Chandra menghela napas. "Mereka minta diselamatkan, entah dari apa. Dan memanggil Suddha Candrama. Kamu tahu apa artinya?"

Martha menggeleng. "Orang yang tahu metafisikawan luar dalam cuma Pak Ida."

*****

Sebuah mobil hatchback sampai pada sebuah gudang penyimpanan yang tak satupun orang berani datang. Teriknya matahari menguarkan aroma aspal panas beserta samar-samar amis laut yang menabrak indra penciuman.

Dika dan Devi bergegas turun dan mengambil lukisan yang mereka curi semalam -terbungkus kertas koran- di bagasi belakang.

Kedatangan mereka sedikit terlambat. Sebelumnya, mereka harus mengembalikan mobil sewaan untuk mencuri lukisan. Sejalan kemudian berganti mobil agar tak mudah dideteksi.

"Cepat, orang itu sepertinya sudah ada di dalam." Devi memburu waktu.

"Eh, kamu pikir lukisan ini seringan kertas?"

Mereka secepat mungkin mengangkat lukisan itu dan masuk ke dalam gudang penyimpanan.

Dua orang pria menunggu di sana. Mereka berjas dan berkacamata hitam.

"Kalian seharusnya sudah di sini satu jam yang lalu. Bos kami hampir berubah pikiran." Kata salah satu di antara mereka.

"Kami harus berganti mobil tadi." Dika beralibi. "Ini lukisan yang kalian mau."

Sejenak mereka memeriksa keasilian lukisan menggunakan sinar lampu UV yang mereka bawa.

"OK, ini asli."

Dika mengode Devi untuk segera bertransaksi. Mereka menerima sejumlah uang dan memberikan foto Mahendra kepada dua orang suruhan itu. Di belakang kertas foto itu terdapat nomor ponsel milik sang ayah.

"Akan kami sampaikan."

Mereka lantas bergegas pergi usai bertransaksi.

*****

MetafisikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang