#19

20 14 0
                                    

Jangan lupa vote dan komennya ^^

*****

Segelas kopi pagi selalu menjadi rutinitas Chandra untuk memperbaiki suasana hati. Cukup kopi, tanpa sarapan pun ia kuat menjalani hari seperti biasa. Kesedihan ditinggal Mahendra baru saja mengaduk hatinya. Dan masih usai pemakaman kemarin sore.

Panggilan dari Hanum menggugah pikirannya sepenuhnya. Ia mencengkram gawainya segera.

"Hai," sapanya.

"Hai. Kamu sedang apa?" suara Hanum terdengar lesu.

"Minum kopi seperti biasa. Kamu?"

"Sama." Sejenak Hanum menunda untuk bicara. "Kamu baik-baik saja?"

Chandra tersenyum simpul. "Setelah kamu menelpon aku cukup tenang."

Terdengar napas Hanum terkekeh di sana. "Kamu yakin aku tidak perlu ke sana?"

"Tidak usah. Lagi pula pemakamannya sudah kemarin sore." Chandra menghembuskan napasnya dengan cukup kuat. "Aku baik-baik saja. Tenanglah." Nada suara Chandra mulai semangat.

"OK. Bagaimana Mamamu?"

"Mama baik-baik saja. Mungkin agak kelelahan karena kemarin banyak pelayat yang datang." Chandra berdehem menghilangkan canggung, "Oh iya....maaf....dengan kondisiku seperti ini, mungkin untuk pemilihan ketua BEM....aku bukan ingin mengundurkan diri...."

"Iya, kamu pasti butuh waktu untuk menenangkan pikiran."

"Bukan, aku tidak ingin mengatakan itu." Chandra memotong, "Yah, mungkin benar aku butuh waktu tenang, tetapi tidak lama lagi aku akan kembali berjuang lebih semangat lagi."

"Kamu....yakin?"

"Iya, aku harus menjadi ketua BEM. Kalau aku kalah, Papa pasti akan lebih kecewa di nirwana."

Chandra sempat menanyakan beberapa hal tentang kampanye Winter selama ketiadaannya di Jakarta. Hanum hanya menceritakan sebagian tentang pidato Winter mengenai pembelaan terhadap peneluh. Tetapi, Hanum tak menyentuh cerita tentangnya yang memata-matai Winter. Dan kini, mendengar Chandra yang semakin bersemangat setidaknya menenangkan Hanum. Tetapi juga membuatnya berpikir bahwa ambisi Chandra benar-benar memanas.

"Baiklah. Jadi, kamu akan kembali secepatnya?"

"Tentu saja, Mama juga sangat mendukungku. Setelah mendengar ceritamu soal Winter kemarin, aku menjadi tersulut untuk mengalahkannya di panggung ketua BEM. Aku akan menguak kasus santet ini dan namaku akan dikenal. Sebagai prestasiku nanti. Aku akan memberikan pengertian kepada publik untuk menghargai nyawa seseorang. Dan orang-orang yang memiliki kekuatan seharusnya melindungi bukan menyakiti."

"Baiklah-baiklah." Hanum terdengar senang. Ia lebih memilih memendam ceritanya tentang penyelidikan yang ia lakukan terhadap Winter dan Suzy sementara waktu. Ia butuh lebih dari kecurigaan. Bukti jelas harus ia dapatkan sebelum bercerita kepada Chandra.

"Baiklah, aku akan kembali ke Jakarta, esok."

"Sampai besok."

Hilda sudah berada di ambang pintu dapur sembari melihat puteranya yang tampak tenang. Ia melipat tangan dan melempar senyuman tersungging di bibir.

"Kamu terdengar bahagia dengan telpon itu." Hilda menyeret langkahnya menuju mesin pembuat kopi. "Siapa gerangan yang bisa membuat anak Mama sesenang ini?"

"Namanya Hanum, Ma. Kami pacaran sudah dari satu tahun lalu."

"Kok, kamu nggak kenalin ke Mama?" tutur Hilda sembari tangannya mempersiapkan secangkir kopi.

MetafisikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang