#28

17 11 4
                                    

Jangan lupa vote dan komen di setiap episodenya. Kontribusi dan dukungan anda sangat membantu saya dalam proses kreatif. Selamat membaca. ^^

*****

Titik kumpul, kembali di rumah pribadi Raymond untuk tempat uji coba. Maghrib yang membiru menjadi penanda waktu bagi mereka untuk persiapan ekspedisi. Winter, Suzy, Ari, dan Raymond telah membawa perlengkapan.

"Malam ini kita akan berangkat ke Dieng. Di sana kita akan dijemput oleh asisten saya. Yang terpenting adalah mesin itu dalam keadaan aman bersama remahan batu Ayaskara. Anak buah saya akan menjalankan mesin sesuai panduan Pak Ari. Jadi, selama kita tidak di tempat ini, upaya teluh akan tetap berjalan." Jelas Raymond.

"Pak Raymond, setelah saya pikir-pikir, tidakkah sebaiknya saya berada di tempat ini untuk melakukan upaya tersebut? Mesin ini terlalu muda, jika ada kerusakan atau apa pun, saya dapat menanganinya secara langsung."

"Lalu tentang pusaka itu? Tidakkah anda ingin menguliknya?"

"Tentu saya ingin. Pusaka itu merupakan material langka yang menarik untuk diteliti. Tapi untuk menjemput pusaka itu, saya percayakan kepada dua mahasiswa saya ini. Kita telah sepakat dengan darah kesetiaan bukan? Jadi, tidak akan ada pengkhianatan di antara kita."

Raymond memandang wajah Winter dan Suzy. Ia menyetujui dengan kata-kata Ari tentang darah kesetiaan yang telah tertoreh pada batu betuah itu. Maka keraguan itu perlahan sirna.

"Baiklah, mohon kerjasama kalian."

Winter dan Suzy mengiakan.

"Pak," Winter menyela, "Ada satu hal lagi. Saya curiga, bahwa ada kelompok metafisikawan yang telah mengetahui rencana kita. Akan lebih baik jika tempat ini dimantrai."

"Kamu tahu darimana, Winter?" Ari memastikan.

"Saya menemukan jurnal saya terserak di kamar. Saya selalu meninggalkan tanda di jurnal saya kalau-kalau ada seseorang yang lancang membuka. Dan, benar, tanda itu sempat berpindah tempat."

"Masuk akal. Mantra apa yang bisa kita gunakan?"

Suzy menjadi pusat perhatian. Dan, ia memberikan gambaran.

*****

Awan mendung berkemelut di angkasa bak mengusik benderang bintang-bintang. Hawa dingin berembus membawa suara alam yang meringik ingin diperhatikan. Kicauan seekor burung hantu menggugah gelisah.

Burung itu lantas terbang dari dahan menuju batu di ujung tebing untuk bertengger.

Sesosok perempuan berkalung selendang membuka matanya, memantulkan sinar rembulan yang hendak dilahap awan. Ia duduk bersila sembari melihat sang burung hantu yang menghampiri dirinya. Lamat-lamat, sinar rembulan terpadam oleh awan. Ia lantas berbisik lirih pada sang burung hantu yang mulai resah.

"Hawa ini membuatmu tak nyaman, Manguni?"

Burung hantu itu hanya termanggut.

Tiba-tiba guncangan lirih menggeser tubuh perempuan itu dengan lembut.

"Getaran itu datang lagi. Kalau begitu dalam waktu sekejap, bersiaplah menjemput Suddha Candrama."

Perempuan itu lantas berdiri. Menyambut udara malam yang meniup rambutnya yang panjang tergerai.

"Saat dia tiba, kau akan tahu seperti apa sosoknya. Auranya, tak akan bisa disembunyikan."

Manguni lantas membentangkan sayapnya dan terbang meninggalkan sosok perempuan itu.

*****

Di sudut kota. Jauh dari keramaian. Lelap telah membungkus. Tenang menggelapkan tiap-tiap rumah yang telah ditimang rasa kantuk.

MetafisikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang