#11

40 15 0
                                    

Jangan lupa vote dan komennya ^^

*****

Angin malam berhembus melalui pintu balkon kamar Winter yang dibiarkan terbuka. Jam masih berdetak di pukul tiga dini hari. Winter duduk di kursinya sembari memandang ke arah luar. Baginya, malam selalu menjadi puncak dari pergolakan hati. Lelah akan ketidakpastian. Dan pikiran-pikiran tentang putus asa yang memakan akal sehat.

Winter melirik ke arah kapsul-kapsul yang disimpan dalam vial dengan label Doxepin. Tanpa hitungan dosis ia meraup tiga biji dan ia telan untuk mendapatkan ketenangan.

Rahangnya gemetar. Pikirannya diserang oleh kemelut dunia. Kegagalan. Keputusasaan. Kesepian. Dingin. Sendiri. Tubuhnya meringkuk. Sesuatu menendang dadanya hingga berdebar kencang. Hampir tiap malam kepanikan menyerangnya. Sampai air matanya mengalir deras.

Ia ingin menangis. Ia ingin bersandar. Ia rapuh. Selama ini ia hanya membalut kelemahannya dalam senyum. Ketenangan bahkan. Menahan sakit seorang diri dalam hiruk pikuk dunia. Dalam kesendirian. Dalam kepanikan yang menghunusnya untuk segera mengakhiri hidup. Ia meringkuk. Memanggil satu nama yang paling membuatnya ingin mengerti akan hidup.

"Chandra."

*****

Usia lima tahun adalah usia dimulainya masa terkelam Winter. Robert, ayahnya, kembali ke Inggris setelah bercerai dengan ibunya. Entah apa alasannya. Mungkin karena ibunya adalah pecandu alkohol. Lebih daripada itu, ibunya adalah seorang pejudi. Satu hal yang Winter tahu, ayahnya pergi meninggalkannya. Dan satu-satunya yang ia miliki adalah Karmila.

Dibesarkan oleh Karmila adalah pilihan terbaik, ketimbang harus hidup terlantar di jalan. Meski yang ia rasakan adalah jambakan, luka lebam membiru, acap kali perih mendera pada pukulan panas dari tangan Karmila. Dari kecil, terasa aura membenci yang dipancarkan dari Karmila kepadanya. Lalu, kenapa Karmila tak membuangnya? Kenapa ia tak ditelantarkan seperti yang dilakukan Robert pada mereka?

Pernah suatu malam, Winter yang sudah berusia sepuluh tahun mendapati Karmila pulang lewat tengah malam dalam keadaan mabuk. Berteriak tak keruan. Meracu tak jelas.

Melihat Winter, entah kenapa Karmila menggila. Melampiaskan murka pada anak kecil yang pernah dikandungnya.

"Tiap aku melihatmu, aku selalu teringat pria itu. B*jing*n itu sudah membuatku harus mengubur mimpiku menjadi model. Seharusnya sekarang aku sudah menjadi artis terkenal."

Winter hanya terdiam tanpa tahu maksud ibunya. Ia hanya mengerti satu hal, ibunya menyalahkannya karena ia adalah sumber masalah. Sumber yang menghambat cita-cita Karmila terwujud.

Ketika Winter beranjak di usia dua belas. Pertama kalinya, Karmila mendandaninya dengan sangat layak. Memakaikan minyak wangi. Menyisir rambutnya rapi. Ia mengenakan pakaian terbaik yang pernah ada.

Karmila tampak begitu bersemangat mengantar Winter pada sebuah tempat dengan dipenuhi kamera. Orang-orang dewasa tampak ramah kepadanya. Memberikan ia makanan yang manis. Memintanya bergaya dengan arahan yang mereka mau. Sampai Winter memahami bahwa ia telah memasuki dunia permodelan.

Melihat Karmila tampak mulai memperhatikannya, membuat Winter mulai meomauni industri model. Meski beberapa kali, ia membaca komentar atau kritik pedas padanya yang masih SMP. Ia menelan semua itu untuk memperbaiki posenya. Tak jarang, ibunya memberikan cambukan jika kesalahan kecil yang membuatnya mendapat serangan pedas dari publik.

Beberapa kali, Winter berhasil mendapatkan rangkaian acara reality show, iklan atau hanya menjadi pemeran pembantu pada suatu drama. Di usia remaja, Winter mulai merangkak untuk mencapai karir di puncak.

Karmila mulai lebih ketat menjaga tubuh Winter. Pada usia pubertas, Winter telah menjalani perawatan kulit, olahraga, dan diet seimbang yang membuat seluruh hidupnya terjadwal pada satu garis yang membuatnya lupa akan kehidupan sosial. Tiap seminggu sekali, ia harus terbang ke Jakarta untuk bekerja, pulang esok paginya untuk bersekolah.

MetafisikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang