#18

30 13 2
                                    

Jangan lupa vote dan komennya ^^

Sinar mentari hendak kembali ke peraduan bersama pekerja yang lelah seharian. Namun, dua kaki Hanum belum penat setelah berjalan berjam-jam mengarungi hiruk pikuk kota bersama Helena. Dari sebuah kantor pemasaran bahan baku material, ke sebuah rumah di tengah perumahan terpadat. Dan kini, berakhir di trotar pembatas jalan besar dengan beberapa rumah makan yang berjajar-jajar.

"Eh, Hanum, kau punya kawan bernama Awang itu tidak bisa ditelfon atau pakai mantra kebatinan saja?" Helena setengah berteriak ketika beberapa suara kendaraan bermotor menenggelamkan suaranya.

"Aku sudah putus kontak darinya lama, Len. Setahuku ia bekerja di perusahaan material yang tadi kita ke sana. Tetapi kata pegawai HR di sana, Awang sudah mengundurkan diri kemarin lusa." Hanum menjawab dengan napas terengah-engah karena sudah mulai lelah, "Kalau begitu mana dia tahu soal bahan-bahan material itu?"

"Pasti tahu, dia yang mengurusi barang impor dan ekspor material. Perusahaan tempat dia bekerja distributornya."

"Tapi dia sudah mengundurkan diri."

"Aku yakin dia masih tahu. Dia itu lumayan licik. Pantaslah, selain budak korporat dia juga pedagang. Apapun yang bisa menguntungkan buat dia."

"Pedagang apa?"

"Alat-alat sihir."

"Bagaimana kau bisa kenal orang macam itu?"

"Ayahku dulu salah satu pelanggannya. Dan salah satu yang kena tipu juga. Dia jual Keris Atmaloka palsu yang hanya dimantrai pemanas, tetapi isinya tidak ada apa-apanya. Makanya, dia sangat menghindariku. Tapi jangan harap bisa."

"Kalau gitu kenapa masih kau cari?"

"Aku sudah bisa menghadapi dia sekarang."

Hanum berhenti pada sebuah rumah makan Padang yang begitu ramai pengunjung. Bahkan beberapa orang sampai rela berdiri mengantre untuk membeli makanan disana.

"Di sini." Kata Hanum.

"Kau yakin?"

Hanum mengangguk.

Mereka lantas memasuki rumah makan itu. Beberapa pelayan sempat menghentikan langkah Hanum. Tetapi, Hanum mengaku mengenal baik pemilik rumah makan itu.

Helena mengedarkan pandangan dan melihat semua orang makan dengan lahapnya. Setelah berjalan seharian, ia merasa perutnya mungkin sudah merindukan masakan beraroma santan dengan begitu banyak rempah di sana.

"Len, kau mengajak aku ke sini, aku jadi lapar. Sepetinya enak makan di sini." Desis Helena.

"Kalau kau mau nasi Padang, kita cari di tempat lain. Jangan di sini."

"Kenapa?"

Hanum menunjuk sebuah kendi kayu yang tergantung di atas pintu menuju dapur. "Itu."

"Apa itu?"

"Kamu tidak tahu?"

Helena menggeleng. "Tidak ada petunjuk."

"Nanti, di dapur." Bisik Hanum.

Mereka segera menorobos ke dapur. Hanum sempat terhenti dan mencari ruangan pemilik rumah makan.

Helena melompat terkejut. Matanya menangkap sosok berpawakan tinggi besar, tanpa pakaian -hanya mengenakan celana kolor.

Kulit makhluk itu berwarna hijau berlendir, bertaring, berambut panjang-kusut, dengan mata terbelalak merah. Sosok itu berdiri di sudut dapur, dekat meja tempat menyajikan makanan. Setiap pelayan -setelah memasak, meletakkan masakan mereka di atas meja tersebut. Mereka menepuk-nepuk tangan sembari membaca mantra-mantra. Air liur dari mulut sosok itu pun sengaja ia teteskan dalam masakan tanpa diketahui oleh para pelayan yang hanya manusia biasa.

MetafisikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang