#12

37 16 1
                                    

Jangan lupa vote dan komennya ^^

*****

Dering ponsel yang disenyapkan bergema di kepala Winter yang masih berat. Tidurnya tidak nyenyak. Kelopak matanya terbuka dan pandangannya masih buram.

Tubuhnya masih tergeletak di lantai dengan pintu balkon yang menganga semalaman. Ia mengangkat panggilan dari gawainya. Seseorang menyuruhnya segera bergegas untuk membuat berita pencitraannya. Mengajar anak jalanan.

Setelah menyiapkan diri, Winter menuju kampusnya sejenak untuk mengambil keperluan mengajar. Juga untuk memberi tumpangan pada teman-temannya yang lain di mobilnya.

Dari gerbang depan kampus, ia sudah disambut dengan rerimbunan pohon maja dan palm. Melewati aula yang ramai dan terparkir mobil kepolisian di depan, membuat matanya mengamati untuk beberapa saat. Di sana, ia melihat Chandra sekilas bersama teman-temannya. Pikirnya, ada apa?

Sampai di fakultas, teman-temannya segera masuk ke dalam mobil. Begitu juga dengan Suzy yang duduk di depan. Mereka bersiap berangkat.

"Di aula ada apa?" tanya Winter.

"Lukisan senilai dua milyar dicuri." Salah seorang temannya menjawab.

"Oh."

"Ayo, anak-anak yang lain sudah menunggu di lokasi." Suzy menyahut.

Winter menginjak gas. Melewati jalanan padat hingga mobilnya berhenti pada lokasi.

Sampai matahari meninggi, Winter telah usai melakukan pekerjaan sosialnya. Beberapa teman-temannya berceloteh di ujung, membiacarakan kesurupan masal yang terjadi di kampus. Mereka menyayangkan tak dapat hadir melihat atmosfer di sana.

Winter tak peduli, lantas mengajak Suzy bergegas menemui Pak Ari setelah mereka menjadwalkan hari itu akan bertemu.

Setelah sempat berpamitan, mereka menemui Pak Ari di lokasi yang ditentukan. Di sebuah gedung tua, beberapa meter dari kampus mereka.

Di sana, Ari sudah menyiapkan alat-alat uji coba. Sebuah mesin raksasa tersusun rapi di sana. Sebuah tabung yang mereka buat kemarin sore dihubungkan dengan pipa besi menuju tabung kaca dengan mulut yang telah ditutup. Di dalam tabung kaca tersebut, sebuah kerikil disimpan di sana.

"Kalian sudah datang. Bagaimana mengajar anak-anak?"

"Seru, Pak. Menyenangkan bisa berinteraksi dengan orang-orang." Jelas Suzy.

"Baguslah. Ini kesempatan kalian mendapat simpati menjadi ketua dan wakil ketua BEM. Jabatan ini merupakan kesempatan kalian untuk membawa pengaruh baik bagi kampus kita. Melawan ketidakadilan yang selama ini terjadi. Kalian benar-benar kandidat sempurna untuk itu. Bapak senang kalian mengikuti saran bapak."

"Jadi, alatnya sudah siap, Pak?" Winter mengalihkan pembicaraan.

"Yup. Dan segera kita uji coba."

"Kali ini siapa yang akan ditargetkan?" tanya Winter sembari melihat susunan mesin besar yang hampir memenuhi ruangan.

"Ini ada daftarnya. Ada seorang bernama Soeratman Kuncoro, dia terlibat kasus pencucian uang tetapi lolos begitu saja. Ada Bahri yang tersangka kasus penggelapan dana laptop sekolah. Kemudian, Susanto seorang mantan napi pedofil. Dan masih banyak lagi. Kira-kira dua puluh orang."

"Dua puluh orang, Pak?" Suzy terkesiap.

"Banyak, bukan? Makanya kita juga coba cari tahu kemampuan mesin ini."

"Baik, Pak. Ayo kita lakukan." Winter sudah membuka mulut tabung kaca.

Suzy melihat Winter yang memandangi mesin dengan tatapan dingin. Seolah, Winter menikmati uji coba ini.

"OK. Darah kesetiaan." Ari menyiapkan vial berisi cairan merah yang didapatkannya dari dirinya dan Winter. Darah mereka yang mengatasnamakan kesetiaan.

Tertumpahlah darah itu pada kerikil kecil di dalam tabung kaca. Segera, Winter menutup tabung itu. Menunggu batu itu bereaksi. Sinar biru terpancar. Gelombang merambat pada medium yang disediakan pada tabung itu. Tertangkap oleh tabung platina. Panas memutar turbin. Aliran listrik menyalakan kawat yang melilit puncak menara sinyal. Suzy mengisi sebuah bejana dengan paku-paku berkarat. Ia lalu mengangkat ibu jarinya.

"Kita sudah dapatkan sinyalnya, tinggal kita transfer gelombangnya." Ari bersiap. Ia membuka laptopnya. Mengetik beberapa kode dan nomor ponsel yang ada di tangannya. Memanipulasi angka-angkanya, seolah panggilan itu dari orang-orang terdekat mereka. Kemudian....Enter.

Satelit menangkap gelombang panggilan yang dilakukan oleh Ari. Gelombang yang tak hanya membawa pesan, melainkan zat padat yang telah terkonversi menjadi partikel. Gelombang itu tersimpan di satelit luar angkasa sebagai tanda panggilan. Diteruskan pada menara sinyal.

Ponsel-ponsel siap menerima gelombang itu. Seluruh gawai orang-orang yang berada di daftar Ari, berdering. Satu per satu mereka mengangkat panggilan itu. Dengungan saja yang sempat mampir di telinga mereka. Lantas, paku-paku menyangkut di tenggorokan tiba-tiba. Di otak mereka. Di usus. Di ulu hati. Tergantung di mana sinyal itu ditangkap. Sampai jeritan merajalela di setiap tempat dimana gelombang itu ditransmisikan.

"Kita tunggu berita siang ini." Cetus Ari bangga.

*****

Ponsel Chandra berdering usai mendengar cerita Suddha Candrama dari Ida Respati. Beberapa kali bersamaan dengan gawai Ida yang enggan diam sebelum dijawab.

Ia mengangkat panggilan itu. Suara Hilda terdengar panik menelpon Chandra.

"Kenapa, Ma?"

"Papamu."

"Kenapa?"

"Keluar paku di kakinya. Bukan, tidak hanya di kaki, tetapi juga di tenggorokannya."

"Lalu?"

"Mama sudah bawa Papa ke IGD. Dokter sedang menangani Papa sesegera mungkin."

"Bagaimana kondisi Papa?"

"Masih kritis."

"OK, Ma, Chandra akan pulang ke Surabaya."

Chandra memandang Ida yang baru saja menutup telfonnya.

"Pak, Papa saya kena santet."

"Saya juga mendengarnya. Baru saja bapak juga mendapat telfon dari Komandan Dirga, dua orang meninggal dengan paku di paru-paru dan kepala mereka. Belasan yang lain koma dan luka-luka."

"Saya belum pernah menjumpai kasus santet. Apa selalu seperti ini, Pak? Seperti wabah."

"Bapak juga baru menjumpai kasus seperti ini. Tapi, bapak dan tim akan segera menyelidiki kasus ini."

Suara napas Chandra terdengar tak beraturan karena panik. Lantas ia berdiri dan berpamitan dengan Ida. Segera ia berhambur menuju urusan urgensi yang menimpa keluarganya, Papanya.

*****

MetafisikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang