#27

35 12 3
                                    

Jangan lupa vote dan komennya ^^

*****

Detik jam berdetak seirama dengan debar jantung Ida. Matanya menatap satu titik di ujung dinding yang ia imajinasikan sendiri. Napasnya teratur sedari awal ia membaui aroma dupa yang semerbak di seluruh ruangan. Sambil perlahan memejamkan mata, auranya mendelik masuk dalam dunia tak kasat mata. Lelap yang ia perintahkan, memburu mimpi untuk dijadikan medium pengantar.

Sampai tubuhnya terlepas menjadi entitas yang melayang pada ruang hampa nan gelap. Kanvas hitam tanpa lukisan. Hanya pejalan mimpi yang dapat melakukan. Memanggil energi alam bawah sadar, dimensi lain pun terbuka.

"Aku memanggil kalian para roh-roh tertua yang terbangun merasakan durja." Suara Ida menggema lantang.

Satu per satu, sosok-sosok yang terpanggil muncul. Melingkar di sekitar Ida yang berputar menghitung jumlah roh-roh yang datang. Sepuluh. Ada yang paling tua. Berjonggot panjang dengan luka bakar yang mengerak di wajahnya. Beberapa juga memiliki perawakan sama, kulit mereka retak-retak. Merekahkan sinar. Mata-mata mereka tak berkilau serupa mata manusia. Melainkan, membiru tanpa bulatan bola mata untuk mencerap pemandangan.

Ida menelangkupkan tangannya memberi salam penghormatan.

"Kau Penjelajah Mimpi. Kenapa kau memanggil kami yang sedang tak ingin terhubung dengan dunia manusia?" ucap salah satu di antara mereka yang paling tua.

"Ampun, Ki Sanak, beberapa hari yang lalu, ada roh-roh tetua merasuki manusia, mereka merasa terusik oleh sesuatu. Bisakah, abdi mengetahui penyebab akan hal itu?"

Semua roh lantas mengheningkan suara.

"Bukan, salah satu dari kami, tetapi yang bersemayam di tanah tempatmu berdiri sebagai perwakilan kami mencari seseorang."

"Siapa, Ki Sanak?"

"Suddha Candrama."

"Ceritakan wahai Ki Sanak."

"Seseorang berusaha membangunkan Ibu dari kekuatan kami, sumber kekuatan kita yang tak pernah mati. Suddha Candrama pada masa kami telah memperingatkan, tak boleh satu pun di antara kalangan manusia ataupun shaman diperbolehkan membangunkan kekuatan Ibunda. Jika, beliau terbangun, maka jagad akan gempar. Kami roh-roh shaman tak akan tenang untuk menantikan waktu mencapai nirwana. Kami akan hancur. Sebelumnya ini pernah terjadi pada kami, tetapi keturunan Suddha Candrama berhasil meredakan murka ibu sementara waktu. Tetapi, kini Suddha Candrama itu mulai melemah. Maka dari itu, kami mengusik manusia, mencari Suddha Candrama yang bertanggungjawab mencegah Ibu terbangun dari lelapnya. Kami merasakan auranya semakin kuat, oleh sebab itu, kami mudah menemukannya."

"Ampun Ki Sanak, abdi belum mengerti maksud Ki Sanak."

"Cerita ini terlalu panjang, nak. Tubuhmu akan hancur jika kami berlama-lama pada ruang mimpi yang kau bangun. Pesanku, belajarlah sejarah Tombak Ayaskara, kami hanya dapat merasakan aura Ibunda yang terpancar dari dunia lain. Dan aura Suddha Candrama yang sangat dekat denganmu di dunia fana."

"Chandra? Apakah demikian nama anak itu?"

"Benar. Dia yang bertanggungjawab menjaga Ibu untuk selanjutnya. Kalian harus mencegah manusia-manusia ini, seperti yang pernah dilakukan oleh Suddha Candrama sebelumnya."

"Bagaimana cara mencegah manusia-manusia ini?"

"Dulu, pria asing itu dipilih oleh Ibu, maka sekelumit kekuatan ibu ada dalam pikirannya. Tak ada yang bisa menghentikan Ibu memanggil pria itu, maka Suddha Candrama sebelumnya, membunuh pria itu untuk menenangkan kekuatan Ibu."

Kedua mata Ida melebar. Wajahnya pucat dengan tatapan nanar. "Membunuh?"

"Tidak ada waktu lagi, Ibu telah memilih seseorang untuk menerima kekuatannya, kami merasakan itu kembali seperti dulu. Kami harus pergi sekarang supaya tubuhmu tidak hancur, dan kami juga harus mencari tempat bersembunyi dari angkara Ibu kalau-kalau beliau terbangun kembali."

MetafisikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang