#10

42 15 0
                                    

Jangan lupa vote dan komennya ^^

*****

Perhitungan sementara menunjukkan jumlah pemilih Chandra yang semakin menurun. Bahkan setelah ia terlibat mengungkap kasus pencurian lukisan senilai dua milyar. Menghabiskan tenaga untuk eksorsisme. Pamornya masih kalah dengan Winter yang berfoto bersama anak-anak jalanan pada program yang ia bangun dulu. Mengajar Anak Jalanan.

Jika Hanum ada di sampingnya, mungkin ia akan mendapatkan banyak saran yang menenangkan. Mungkin ia akan tersadar bahwa apa yang ia lakukan seharusnya tanpa pamrih. Bukan untuk angka pemilih. Tetapi, Chandra juga berhati manusia. Ia makhluk hidup yang membutuhkan simbiosis. Ketika melakukan kebaikan, ia ingin semesta membalas kebaikan itu sesuai keinginannya. Begitu yang diajarkan Winter saat ia masih SMA.

Ia berdecak di ruang tunggu yang berada tepat di depan ruangan Ida Respati. Tak lama setelah hening sesaat, dua orang mahasiswa keluar dari ruangan Ida.

Chandra segera berdiri dan masuk ke ruangan Ida.

"Pagi, Pak."

Ida terdiam. Sosok Chandra membuatnya membeku karena terakhir mereka bertemu. Mereka berdebat cukup panas.

"Duduklah, Chan."

Chandra pun duduk di hadapan Ida yang masih lesu. Mungkin Ida merasa tak nyaman dengan kehadirannya. Atau karena ia memaksakan untuk membangunkan Menteng hingga membuat Ida marah karena sudah susuah payah memenjarakan penjahat paling berbahaya saat ini.

Ida pun tak ingin membuat suasana menjadi canggung. Ia tahu posisi Chandra. Memaklumi bahkan. Ia melihat sosok yang ambisius dan berapi-api. Sangat lumrah ketika muda ia berpikir dengan penuh energi. Dan bertindak tanpa memikirkan risiko. Namun, keberanian seperti itu yang tidak dimiliki Ida. Justru kadang ia iri pada sosok di hadapannya.

Ingatannya merayap pada masa pertama ia mengajar Chandra di kelas metafisika tiap sore. Saat itu, Chandra baru masuk perguruan tinggi dan mendapatkan rekomendasi dari Dewan Metafisikawan Jawa Timur untuk diajar lebih lanjut di Jakarta. Selaras dengan kuliahnya, Chandra memang selalu menunjukkan progres yang nyata.

Semangat dalam belajar menjadi bahan bakar untuknya meraih level tertinggi di perguruan metafisika. Logika berpikirnya juga melebih orang-orang di sekelilingnya. Bahkan ia melihat motivasi Chandra untuk menghapus stigma metafisikawan di mata masyarakat.

"Ada apa, Chan?"

"Bapak tahu tadi pagi ada kasus kesurupan masal?"

Ida menghela napas dengan wajah bersalah. "Benarkah? Maafkan bapak karena tidak tahu itu. Lalu, bagaimana?"

"Untung Klan Kanari berhasil melakukan eksorsisme."

"Atursangka ya Atursangka. Berapa orang?"

"Dua belas orang."

"Cukup banyak, juga. Apa roh-roh usil?"

"Kata Martha, mereka roh-roh yang terusik. Karena ia merasakan energi yang sudah tua."

"Kalau begitu selama ini mereka bersemayam di tanah ini dalam lelap."

"Bapak tahu kenapa roh-roh itu terusik?"

"Biasanya kalau mereka sampai terbangun, itu berarti berkaitan dengan sesuatu yang berbahaya dan dapat mengancam mereka."

"Jadi mereka sudah memiliki firasat itu."

"Mereka lebih peka, Chan. Mungkin di masa lalu mereka juga merafisikawan. Tapi, jika mereka sampai mencari wadah untuk merasuki seseorang, berarti ada kemarahan atau kesedihan yang ingin mereka sampaikan."

"Ada satu yang menerkam saya, Pak. Dia meminta bantuan saya tapi belum saya mendengar mereka butuh apa, Martha sudah mengusir roh itu."

"Memang harus segera dikeluarkan, kalau tidak itu berbahaya bagi inang. Korban bahkan bisa sampai meninggal karena roh-roh ini tua dan kuat. Energinya tidak akan bisa diterima oleh tubuh manusia biasa." Ida mulai serius. "Lalu ada lagi?"

"Ada. Mereka memanggil nama Suddha Candrama. Bapak tahu apa artinya?"

Ida mendadak -tapi perlahan- menyandarkan punggungnya.

"Suddha Candrama adalah nama seorang penjaga Tanah Jawa di masa Wangsa Sailendra. Dulu ada sebuah pusaka tersakti di Jawa yang dapat membinasakan semua makhluk hidup. Senjata itu adalah Tombak Ayaskara. Pusaka itu dibuat oleh seorang metafisikawan bernama Mpu Daksasana, dari sebuah batu yang bukan berasal dari Bumi. Senjata itu dibuat atas kebijakan Mpu Daksasana untuk melindungi kerajaan Medang. Mempercayakannya pada raja pertama, Raja Sanjaya sebagai orang paling bijak menjaga perdamaian. Karena keberadaan senjata itu, Kerajaan Medang menjadi kerajaan yang paling ditakuti. Meski begitu, Raja Sanjaya dan keturunannya tidak menggunakan kekuasaannya untuk memicu perang. Namun, sepeninggalan Raja Sanjaya dan seterusnya sampai turun ke generasi ke delapan, terjadi perebutan takhta antara Rakai Sirikan dan Arrya Rudra. Rakai Sirikan merasa berhak memiliki takhta karena satu-satunya anak laki-laki keturunan raja, meski dari seorang selir. Sedangkan Arrya Rudra adalah menantu laki-laki dari permaisuri yang tidak memiliki keturunan laki-laki. Keturunan ke delapan ini saling berkompetisi untuk merebut kekuasaan, karena jika senjata ini dimiliki, maka ia akan menjadi sosok terkuat di Jawa. Arrya Rudra mendapat kekuasaan, tetapi Rakai Sirikan tak terima, ia dan bala pendukungnya memberontak dan timbulah perang saudara. Arrya Rudra yang menguasai Tombak Ayaskara, ia hampir membinasakan separuh Pulau Jawa bahkan membuat para roh-roh dan iblis menangis ketakutan. Rakai Sirikan pun tewas. Melihat kekuatan Tombak Ayaskara yang mampu menggemparkan jagat, membuat Arrya Rudra gelap mata, ia melakukan penjajahan dan membangun tirani. Kerajaan Medang memasuki era tergelap kala itu.

"Suddha Candrama yang merupakan keturunan Mpu Daksasana merasa bertanggungjawab untuk memulihkan keadaan. Namun, tombak itu seolah tak memiliki kelemahan. Ia lantas mengerahkan kemampuan metafisikawan dari penjuru negeri untuk mengalahkan Arrya Rudra. Mereka membangun sebuah kurungan untuk mengunci kekuatan Tombak Ayaskara dan menidurkannya. Pusaka itu sudah tidak diketahui lagi keberadaannya. Tidak ada sumber sejarah lebih lanjut tentang itu. Cerita ini pun juga ditemukan dari prasasti yang dibuat oleh keturunan Suddha Candrama. Dan sangat ringkas, sesuai dengan apa yang bapak ceritakan."

Chandra setengah melamun dan takjub bahkan dengan penggalan cerita epik yang dilontarkan oleh Ida.

"Apa menurut bapak, pusaka itu dapat dibangunkan lagi dari tidurnya?"

"Oma moyang kita sudah memutuskan untuk menghapus jejak mengenai pusaka itu, mana mungkin ada yang dapat menemukan tempat senjata itu disimpan?"

"Tapi roh-roh merasakannya, Pak."

Ida menghela napas. Dalam hening sekejap, ponselnya berdering. Disusul getaran ponsel Chandra yang memanggil. Seseorang dengan panik memberitakan tentang sebuah kekacauan. Mereka berdua mengerjap.

Chandra dan Ida saling bertatapan dalam wujud tercengang.

*****

MetafisikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang