#16

31 15 0
                                    

Jangan lupa vote dan komennya ^^

*****

Chandra baru saja sampai di Bandara Juanda kala senja digulung oleh malam. Mimpinya masih tersegel di Jakarta dengan riuh kendaraan di sana. Pikirannya masih diselimuti oleh kehidupan kampus yang ia tinggalkan. Susah payah ia mengembalikan konsentrasi di pintu keluar bandara. Menghadirkan sosok lelaki di ujung pintu, bersiap mengantarnya menemui Hilda.

Sampai di rumah sakit, Hilda terbaring berselimutkan jaket di kursi tunggu. Dalam terpejam, Chandra enggan membangunkan ibunya.

Namun, lirihnya angin yang berhembus melewati Hilda, membuat kelopak matanya terbuka.

"Chandra." Hilda berbisik lirih.

"Mama, istirahat saja."

Hilda menyadarkan diri sepenuhnya. "Udah nggak apa-apa."

"Bagaimana kondisi Papa?"

"Paku-pakunya berhasil dikeluarkan."

"Syukurlah."

"Tapi, Papa masih perlu berisitirahat. Di ICU tidak boleh masuk lebih dari satu orang kecuali tenaga medis, jadi Mama di luar."

"Bagaimana kejadiannya?"

"Entahlah, awalnya Papa menerima telfon dari Devi. Mungkin karena merasa Devi masih anak Papa, jadi diangkat. Kemudian tidak ada suara dari telfon itu. Kemudian semuanya terjadi begitu cepat. Paku-paku sudah bersarang di leher Papa."

"Telfon dari Devi?"

Hilda mengangguk. "Mama coba telfon tetapi tidak ada jawaban."

"Aneh. Apa Papa punya musuh?"

"Papa selalu punya musuh."

Chandra memahami posisi bisnis Mahendra yang penuh dengan persaingan. "Mama punya kandidat siapa yang melakukan ini?"

Hilda menggeleng. "Jika panggilan itu dari Devi, apa mungkin dua anak Mama itu?"

"Bisa jadi. Tapi baik Dika dan Devi tidak bisa santet, mereka baru keluar dari penjara, mana mungkin punya uang untuk mencelakai Papa dengan membayar orang untuk menyantet."

"Siapa tahu?" Hilda mengangkat bahunya.

Chandra terkesiap ketika mengingat sesuatu. "Oh, mereka baru saja terlibat kasus pencurian lukisan."

Hilda berdecak. "Mama tidak mengerti, kenapa mereka bisa terlahir seperti iblis."

"Sekarang polisi sedang mencari mereka. Jika mereka tertangkap, akan Chandra buat mereka angkat bicara."

"Mama nggak habis pikir." Hilda menepuk pelipisnya. "Oh, dan Papa sempat sadar tadi. Kata perawat, beliau memanggil namamu. Kamu temui dulu gih."

"Apa sudah boleh ditemui?"

"Mungkin kondisinya masih lemah."

"Besok saja."

"Sekarang." Sudut mata Hilda mengamati dari balik kaca pintu. "Ada hal yang ingin dia sampaikan. Papa titip pesan kalau kamu datang, kamu disuruh langsung ketemu."

Chandra menyanggupi. Ia pun bergeser masuk ke kamar ICU.

Melihat selang oksigen tertanam di hidung Papanya di ruang dingin dan minim penerangan, membuat Chandra terenyuh. Ia ingat kala itu Mahendra terbaring di ruang yang sama saat koma beberapa minggu. Dan kini, kejadian itu terulang lagi.

Mahendra terlelap. Napasnya terdengar berat. Seberkas sinar lampu temaram memperjelas kusutnya lelah di wajah. Kerutan pertanda usia yang tak lagi gagah perkasa. Kelopak mata pun bergelayutan menghitam akibat penat.

MetafisikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang