#3

63 22 0
                                    

Jangan lupa vote dan komennya ^^

*****

"Menurut saya cukup meresahkan, Pak. Di kampung saya saja, dulu ada yang pernah kena santet." Ujar seorang ibu rumah tangga.

"Iya komunitas ini bisa menjadi ancaman. Apalagi kalau sampai ada yang minta dikasih ilmu pengasihan. Makin banyak itu pelakor." Ibu rumah tangga yang lain menjawab seadanya.

"Bisa jadi bahaya ya, Pak. Mereka itu bisa menyerang diam-diam. Ngeri euy." Seorang pedagang menyampaikan pendapat.

Chandra berkedut ketika melihat tayangan televisi di salah satu warung tegal ketika menunggu nasi bungkusnya siap.

"Sudah, mas." Ibu warteg menyodorkan bungkusan.

Chandra menerimanya dan membayar.

"Orang-orang di TV itu mesti jawabannya sudah diplintir-plintir." Ibu Warteg berpendapat.

"Kenapa begitu, Bu?"

"Iyalah, saya pernah hidup di tahun 1998. Benar kata Pak Raymond itu tadi, tidak semuanya bersalah tapi malah dicurigai dukun santet. Tetangga saya juga paranormal, suka membantu warga kalau lagi ada yang kesurupan. Dibayar juga nggak mau, mas. Padahal beliaunya sering pingsan gara-gara kehabisan tenaga dan kewalahan. Eh, malah menghilang waktu itu. Bukan sengaja. Tapi dibikin ilang sama orang-orang yang takut sama dukun.

"Pokoknya, kalau orang baik. Ya orang baik saja. Kalau jahat ya jahat. Nggak perlu lihat asal usulnya darimana."

Chandra tersenyum tipis. "Seandainya semua orang bisa berpikir seperti, Ibu."

"Ah, saya mah yang saya rasain aja, mas."

"Baik, terimakasih banyak, bu."

Chandra lantas segera pergi.

Pikirnya tayangan di televisi sama sekali tidak membantu. Tidak mengedukasi meski telah diusahakan oleh orang-orang yang berniat sungguh-sungguh.

Mendengar opini publik akan memojokkan posisinya dalam PEMIRA, nanti. Tidak hanya itu, ia bahkan melihat ancaman-ancaman tak waras yang dilontarkan di twitter kepada metafisikawan yang lain.

Sampai di asrama, seluruh mata memandang Chandra dingin. Beberapa terburu-buru pergi melewati Chandra tanpa menyapa.

Chandra menyadari kehadirannya sebagai pengganggu bagi mereka, lantas ia membuka kamarnya dan masuk. Mengunci rapat dan bersembunyi. Seperti ini, seperti yang ia lakukan dahulu supaya dihindari.

Setidaknya tidak semua manusia biasa di luar sana berpikir bahwa metafisikawan berbahaya. Ibu warteg tadi memberinya gambaran positif. Selain ibu warteg itu, Chandra juga mengenali salah seorang manusia biasa yang menganggapnya sebagai makhluk normal. Hilda, Mamanya. Orang pertama yang menganggapnya sama dan setara.

Chandra mengangkat gawainya. Berusaha terkoomasi dengan Hilda.

"Halo, Ma?"

*****

Beruntung, kepedihan tak pernah bisa diingat secara jelas oleh anak manusia yang baru lahir.

Chandra kecil yang baru datang di dunia terbaring di atas ranjang. Tanpa pelukan ibu dan ayah. Suster-suster hanya berlalu-lalang sejenak memeriksa suhu tubuh ataupun memberikan air minum secukupnya.

Setelah kerusuhan 1998 yang menewaskan orangtuanya. Tak satupun sanak menjenguknya. Sampai Hilda yang muda berusia dua puluh lima, menjemputnya karena empati yang tinggi. Cinta kasih meruah yang siap ia bagi. Ia memberi bayi itu nama, dan membuatkan sertifikat kelahiran dengan Hilda sebagai ibunya.

MetafisikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang