#23

25 13 0
                                    

Jangan lupa vote dan komennya ^^

*****

Udara panas semakin menyengat ketika Helena dan Martha tiba di sebuah rumah bergaya kuno dengan pagar setinggi dada. Rumah itu berarsitektur Belanda, dengan taman di depan rumah yang ditanami berbagai pepohonan buah-buahan. Jambu yang tergantung berkilauan, mangga menguarkan aroma manis, dan rambutan mencerahkan siang dengan nyala memerah. Serta, berbagai macam jenis bunga ikut meramaikan aroma taman.

Rumah itu milik anak dari asisten Max Fleicher yang pernah mengurusi lukisan Candi Bima. Pemilik rumah itu bernama Lily Fleicher. Mereka mendapatkan alamat itu dari promotor lukisan yang mengadakan pameran seni beberapa hari lalu di kampus.

Beberapa lama setelah membunyikan bel, seorang pengurus rumah membukakan pintu untuk mereka. Disambut dengan baik, mereka pun menyusuri jalan setapak menuju pintu teras yang terbuka. Terasa asri. Gemericik air kolam terasa menenangkan. Percikan air memberikan kesegaran di tengah udara panas Jakarta yang menusuk kulit.

Setelah dipersilakan duduk, Helena dan Martha menunggu tak begitu lama. Sampai datang seorang wanita berusia senja dengan kacamata yang dibiarkan melorot, menyambut mereka dengan senyum keheranan. Wanita itu lantas menyalami mereka dan duduk dengan begitu anggun di kursi goyang.

"Kalian siapa ya? Apa kita pernah bertemu sebelumnyaa? Maaf kalau mungkin saya agak lupa, umur saya sudah 80 tahun jadi ingatan saya agak samar." Tuturnya sopan.

"Oh, perkenalkan Nek....eh maksud saya, Bu, saya Helena Markos dan ini teman saya Martha Theodore, kami mahasiswi dari Universitas Jayadewata. Kami dapat alamat Ibu Lily dari promotor lukisan yang memamerkan karya-karya lukisan Max Fleicher di kampus kami. Setahu kami, ibu ini puteri dari asisten Max Fleicher."

Oma Lily hanya terkekeh mendengar perkenalan Helena yang begitu canggung. "Kalian boleh memanggil saya Oma. Saya memang sudah tua, kok."

"Iya, Oma." Helena tertawa kaku.

"Iya, kalian tidak salah alamat, kok. Dan.... Max Fleicher itu Mami saya. Dan Max Fleicher.....Papi saya. Nama lengkap saya kan Lily Fleicher."

"Oh..." sekali lagi Helena tertawa canggung, "kenapa promotor kau tak bilang apa-apa...." Bisik Helena pada Martha.

Pelayan rumah itu kemudian datang dan menyuguhkan minuman. Mereka berkenalan dengan suasana secair es dalam gelas ketika Oma Lily tampak ramah menyambut kedatangan Helena dan Martha. Ia sempat menceritakan silsilah keluarganya.

Max Fleicher menikahi Maminya yang seorang warga pribumi dari Wonosobo. Mereka sempat hijrah ke Jerman, tetapi setelah Perang Dunia II, keluarga mereka lebih memilih pulang ke Indonesia. Sedangkan Max melanjutkan karirnya sebagai bryologist dan mengelilingi beberapa negara. Maminya, Palupi Puspita, memilih untuk mundur dari dunia penelitian bryology setelah bertahun-tahun menemani suaminya. Dan, menetap sebagai ibu rumah tangga biasa di Jakarta. Sejak saat itu, Oma Lily tak lagi mendengar kabar dari Papinya. Sampai kabar Max Fleicher meninggal pun tersiar. Pukulan keras membentur hatinya yang merindu.

"Wah, Mami Oma ini peneliti juga?" kedua mata Martha tampak berbinar kagum.

"Bukan. Mami Oma adalah....metafisikawan. Beliau dari Klan Ananta. Klan yang bisa berkomunikasi dengan roh-roh dalam tumbuhan." Bisik Oma Lily.

"Wah, kalau begitu, Oma...." Helena belum menyelesaikan kalimatnya karena terengah.

Oma Lily mengagguk sambil senyumnya merekah. "Kalian mau coba kemampuan kami?"

"Memang bisa Oma? Kita orang bukan dari Klan Ananta." Martha mulai antusias.

"Berikan tangan kalian."

MetafisikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang