HPD - L I M A B E L A S

955 80 5
                                    

Alexandre Mansion.

Begitulah ukiran nama kebanggaan marga Alexandre terpahat sangat indah di sisi gerbang tersebut.

Ervan masih berdiam diri. Pria itu hanya menatap, memandangi rumahnya -dulu- lalu tersenyum miris.

Tit...

Begitu Ervan menekan tombol di dalam mobil itu, tiba-tiba pintu utama gerbang terbuka dengan sendirinya.

Orang kaya mah bebas, tekan kunci otomatis di mobil eh gerbang bisa buka sendiri. Anjayy wkwk

Lalu Ervan kembali menjalan mobil sport itu dan memasuki halaman yang sangat luas.

"Tuan," sapa penjaga lalu membukakan pintu mobil untuk Ervan.

Ervan menghela napas kemudian turun dari mobil dan memberikan kunci mobil itu pada penjaga.

"Kau parkir mobil itu."

Setelah berkata demikian, Ervan melangkahkan kakinya memasuki rumah tersebut. Lagi-lagi Ervan hanya tersenyum miris mengenang tempat ini.

"Bi, Ayah ada di rumah, kan?" tanya nya begitu melihat ART yang sedang menata bunga Lili di seluruh penjuru rumah.

"A...ada tuan," jawabnya terbata.

Ervan mengangguk, ia langsung menuju ruang kerja Thomas.

"Ayah?" ucap Ervan membuka pintu besar bercat coklat tersebut dan kembali menutupnya.

Thomas yang sedang duduk di kursinya seraya membaca beberapa file di atas meja mendongak, pria parubaya itu terkejut mendapat putra sulungnya berdiri di depan pintu.

"X, kemarilah," panggilnya dan mereka berdua duduk di sofa saling berhadapan.

"Kabar Ayah bagaimana? Ayah baik-baik aja, kan? Kata Liam, Ayah gak pernah lagi minum obat, apa itu benar, Yah?"

Thomas terkekeh mendapati pertanyaan dari Ervan yang bertubi-tubi.

Putra sulungnya itu tidak berubah.

"Seperti yang kamu lihat Ayah baik-baik aja," jawab Thomas masih terkekeh kecil.

"Kenapa Ayah tidak mengunjungi mamah lagi?"

Tangam Thomas terangkat berhenti ketika ia hendak mengambil cangkir teh di atas meja saat mendengar pertanyaan dari Ervan. Pria parubaya itu tersenyum simpul lalu menyeruput teh-nya dan meletakkan kembali di atas meja.

"Akhir-akhir ini Ayah begitu sangat sibuk, X." Thomas menghela napas, ia bersendar dengan melipat tangan di dada. "Jika saja kau mau menggantikan Ayah, Ayah pasti akan mengunjungi Mamah mu."

Lagi dan lagi Ayah hanya mengatakan itu. Secara tidak langsung beliau menyuruhnya untuk memimpin Alexandre Corp.

Tapi tidak! Ervan tidak akan melakukan itu karena ia sadar dan tahu diri. Ia tidak pantas memimpin perusahaan sebesar itu dan juga bukan haknya.

"X, ketemu Saga malam kemarin, Yah." Ervan mengalihkan pembicaraan. Untuk saat ini ia tidak mau membahas perusahaan dan segala tetebengek nya itu.

"Saga sudah tumbuh besar sekarang," Ervan tersenyum membayangkan saat ia dan Saga sangat dekat dulu.

"Tapi adik mu itu pembuat onar, X." Thomas menyahut. "Di sekolahnya selalu saja anak itu membuat masalah dan Ayah pusing memikirkannya," keluh Thomas.

"Untung saja Liam dapat Ayah andalkan dan dia yang membereskan semua masalah dan kekacauan yang Saga lakukan itu."

Tanpa keduanya sadari, Saga mendengar perbincangan Ervan dan Thomas. Ah tidak, lebih tepatnya Saga mendengar saat Thomas menjelek-jelakkan dirinya di depan Ervan.

Saga mengepalkan kedua tangannya. Dada cowok itu naik turun pertanda ia sedang marah.

"Kenapa Papa selalu menjelek-jelakkannya di depan Ervan? Kenapa?" batin Saga.

Tanpa ingin mendengar ucapan keduanya lebih lanjut, Saga pergi dari sana. Niatnya hari ini ingin menemui Thomas dan meminta maaf langsung terurungkan ketika tanpa sengaja ia mendengar Papa nya sendiri membicarakan dan menjelek-jelekkannya.

"Pilih kasih! Selalu saja Papa pilih kasih antara Saga dan X!"

▪︎▪︎▪︎

"Dok, apa saya sudah boleh pulang?" kata Zoe ketika dirinya selesai di periksa oleh Rindi.

"Gue turut prihatin atas apa yang menimpa sama lo, Owi." Bukannya menjawab, Rindi malah bicara hal lain. "Lo masih muda, korban pemerkosaan terus hamil, dann...."

"... dan kini lo keguguran. Suatu hidup yang penuh kesialan, ya?"

Zoe meremat sisi selimut. Mendengarnya membuat hati Zoe tersentil dan sakit.

Tidak. Zoe tidak menyalahkan Rindi karena sudah bicara seperti itu, karena memang pada dasarnya, hidupnya kini penuh kesialan.

"Terima kasih atas pujian dan hinaannya dokter Rindi."

Zoe tersenyum tipis lalu berbaring membelakangi Rindi. Perlahan setetes kristal bening jatuh dari pelupuk matanya.

"Takdir macam apa yang Engkau berikan pada ku, Tuhan?"

▪︎▪︎▪︎

Untuk part 15 segini dulu ya.

Haha, kalo kurang ngefeell maaf ya😁😥


Hello, Pak Dokter!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang