02

5.8K 573 30
                                    

"halo, Kek?" sapa Naresh usai melihat siapa yang meneleponnya. Kurva senyumnya tertarik sedikit.

Awalnya Naresh hanya iseng mengirimkan pesan singkat via WhatsApp pada kakeknya di jam sepuluh malam ini. Kerja part time di café baru selesai. Makanya Naresh mengirim pesan. Kalaupun kakeknya sudah tidur, beliau bisa membaca pesan singkatnya esok hari. Tapi siapa sangka bahwa kakeknya malah menelepon setelah membuka pesan Naresh yang berisi; apa kabar, Kek? Kata Jeno, Kakek lagi di Indo.

"Halo, Nana... apa kabar?" tanya Kakek dengan suara beratnya. Lagi lagi Naresh tersenyum saat kakeknya memanggil dengan nama kecilnya. "jarang ngehubungi Kakek, kamu. Durhaka banget."

"roaming internasional, Kek. Nelepon ke Singapore mahal."

"hidup di zaman batu, kamu? Telepon via WhatsApp kayak begini cuma ngandelin paket data. Gaada roaming kayak yang kamu bilang itu."

Naresh balas tertawa renyah.

"Jeno sudah ke tempatmu, ya?"

"um."

"kamu apain? Balik-balik anaknya ngamuk."

"Lah? Ngadu dia?" kelakar Naresh.

Suara di seberang terkekeh. "Kakek ada di rumahnya waktu dia pulang. Lagi bahas tambang baru sama Dimas. Eh, Jeno datang terus melengos begitu aja. Dia bahkan gaada salam sama Kakek saking kesalnya. Gak sadar kakek lagi mampir disana, tadi."

"jadi.... Kenapa?" suara pria tua di seberang line telepon itu menuntut jawaban. "kalian berkelahi? Atau hanya berantem verbal?"

"dia kesel waktu tau kalau Nana ngambil part time lagi."

Tawa puas terdengar,"see...? Saudara sepupumu peduli padamu. Bukan cuma kakek yang gak setuju, toh?" katanya pelan, "uang kakek masih bisa membiayai hidup dan sekolahmu. Kamu gak perlu susah payah kerja part time."

"nanti kalau Nana nyerah, Nana bilang Kakek, kok." Ujar Naresh ringan, "siap-siap aja harta Kakek aku kuras... Aku mau hidup mewah pake uang Kakek."

Pria sepuh di seberang itu tertawa. "silahkan saja. Harta Kakek masih banyak.... Oiya, sudah coba Jas nya?"

Kening Naresh berkerut. Alisnya menyatu. "Jas apa?"

"loh.... Kakek titip Jas dan sepatu untuk kamu. Masa gak dia bawa?"

"aku belom beresin barang yang dibawa Jeno tadi, kek. Telat kerja, jadi buru-buru."

"besok Anniversary pernikahan Ayah dan Mama-mu. Datang, ya?"

"Kakek..."

"sudah lama Kakek nggak ketemu kamu. Kangen. Jeno sampai sekarang nggak pernah mau kasih tau dimana kamu tinggal -entah kesepakatan macam apa yang kalian buat." Suara kakek terdengar seperti orang yang tak habis pikir. "kakek tentu bisa meminta orang untuk mencari tau dimana kamu tinggal. Tapi jelas kamu pasti akan berlari semakin jauh dari jangkauan kakek, kalau kakek sampai ngelakuin itu. Maka jalan satu-satunya ya Kakek meminta kamu untuk datang menemui Kakek."

"Maksa banget?"

"kamu mana mau nurut kalau gak di paksa?"

Jeda cukup lama. Naresh menghela napas panjang. "aku nggak janji." Lirih pemuda itu. Menekan sesak yang menggerogoti relung jiwa. Nyatanya bukan hanya Kakek yang merindukannya, tapi ia juga rindu Kakek. Rindu Tante Ivvany, Om Dimas, atau bahkan Jeno. Ia rindu semua orang. Namun pada kenyataannya Naresh dipaksa untuk menarik langkah mundur.

---

Pemuda itu menghentikan motor maticnya di depan pagar sebuah bangunan mewah berlantai tiga. Kaca helm bogo yang ia kenakan diangkat demi memperjelas pandangan. Ia menghela napas panjang dan terdengar berat. Untuk beberapa lama, pemuda itu hanya diam di atas motornya tanpa berniat turun ataupun masuk ke area rumah mewah itu. Menatap keramaian jejeran kendaraan di sana beserta beberapa suara hingar bingar yang sayup terdengar hingga keluar.

HOPE || Na JaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang