Tuhan,
Terimakasih telah memberikan kesempatanku untuk bernapas hingga hari ini.
Terimakasih telah mengelilingiku dengan orang orang baik.
Terimakasih untuk segala hal.
Tuhan,
setelah semuanya yang Kau beri, bolehkah aku bersikap tidak tau diri un...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Agung menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Mendorong pelan kursi beroda itu untuk menjauh dari laptop dan meja kerja. Ia mengernyit sebentar dan memijat pelan pangkal hidungnya. Entah mengapa, meeting dan mengecek beberapa project untuk klien-nya terasa sangat melelahkan hari ini. Padahal biasanya juga hal inilah yang ia lakukan -selain mengecek kontrak kerjasama dengan subkontraktor dan arus kas perusahaan.
Hari-harinya jadi terasa agak berat usai pertemuannya dengan Eko beberapa waktu lalu. Percakapan mereka tentang Yoana membuat hatinya perih. Serupa luka sayat yang dengan sengaja di tetesi jeruk limau. Agung tertawa sengau. Mengejek dirinya sendiri. Atas dasar apa ia berhak merasa terluka -ketika dirinya sendiri menjadi pihak yang meninggalkan? Lagipula kejadian itu sudah lama berlalu. Mereka sudah punya kehidupan masing-masing. Sudah enam -atau mungkin tujuh- belas tahun berlalu. Namun kalimat Yoana hari itu masih bergaung jelas di gendang telinga Agung. Dress floral dengan air mata membasahi pipi menjadi potret Yoana dalam ingatan Agung.
"aku hamil." Yoana muda menghampirinya seraya menggenggam testpack bergaris dua.
Yoana menangis di bandara, mengantar kepergiannya ke Amerika. Memberi kabar tentang kehidupan tidak terduga dalam rahimnya.
Dan Agung meraup wajahnya kasar setiap kali mengingat kejadian itu.
Hatinya mencintai Yoana. Bahkan sepertinya, Yoana masih punya tempat di satu ruang kosong di hatinya hingga saat ini. Tak peduli sudah berapa purnama berlalu, atau kehidupan percintaan macam apa yang telah Agung lewati, hatinya tetap tertuju pada Yoana. Harusnya saat itu Agung jujur dan kembali, tak peduli seberapa sulitpun situasi yang tengah ia hadapi. Harusnya Agung memberikan penjelasan yang tak melukai hati.
Keluarga Agung memang sejak lama tinggal di Amerika. Hingga kabar buruk itu datang -dan tanpa perencanaan membuat Agung terpaksa harus pindah dan melanjutkan pendidikannya disana. Ya, sebelum Agung wisuda, ia mendapat kabar bahwa kondisi ayahnya yang sejak beberapa tahun terakhir menderita ALS, memburuk dengan cepat karena komplikasi. Beliau meninggal. Dan hanya selang tiga minggu dari kepergian ayahnya, sang ibu bersama anak perempuan (kakak Agung) dan menantunya meninggal secara tiba-tiba karena kecelakaan mobil. Menyisakan cucunya -Jehian- sendirian. Perusahaan yang lama di rintis ayahnya di sana goyang dan mengalami kerugian besar. Agung perlu berjuang keras untuk bisa tetap hidup -terlebih ketika putra semata wayang kakaknya tinggal bersamanya.
Amerika terlalu asing dan kompetitif untuk Agung yang baru saja menyelesaikan kuliahnya. Amerika terlalu keras, untuk Agung yang baru saja kehilangan dan diberi tanggung jawab besar dengan mengurus seorang anak lima tahun, padahal ia sendiri belum pernah menjadi orang tua. Amerika dan garis takdirnya bersama Yoana tidak bersinggungan. Ia harus melepas salah satu sebelum kehilangan semuanya.
Alih-alih datang dan memutus hubungan, Agung hanya mengirimkan sepucuk email tanda perpisahan. Surat yang di ketik dengan penuh kebohongan.