14

4.7K 493 10
                                    

Tubuh pemuda enam belas tahun itu nampak tersentak. Jemarinya bergerak mencengkram erat apapun yang mampu ia gapai meski kelopak matanya masih tertutup sempurna. Jari-jemari panjang nan kurus itu meliar. Ia ingin bergerak lebih. Terutama mencabut sesuatu yang mengganjal di tenggorokannya -yang membuatnya ingin muntah.

Malam itu, Jevano yang giliran berjaga menyadari itu setengah berteriak memanggil ibunya yang ada di area tunggu ruang rawat sembari tangannya sibuk menekan bel nurse call.

Ivanny datang menghambur. Mendekati bed Naresh dan mengusap puncak kepala pemuda itu.

"sayang... Nana... tenang, ya... dokternya lagi di panggil." Tuturnya dengan teramat lembut.

Seorang dokter jaga malam itu datang ke ruangan bersama seorang perawat. Mengamati tanda-tanda vital pasien sambil mengarahkan keluarga untuk tidak menghalangi pemeriksaan.

Sesuai perintah, perawat menarik endotracheal tube yang tertanam di sepanjang tenggorokan pemuda itu dengan hati-hati. Menggantinya dengan masker oksigen agar pasien lebih nyaman. Lalu menyuntikkan satu ampul obat melalui infus dan mengatur ulang laju tetesannya. Kesimpulannya; malam itu Naresh sudah mendapatkan kembali kesadarannya setelah tertidur selama dua hari. Saturasi oksigennya pun sudah lebih baik meski tetap perlu dibantu. Selain endotracheal tube, tidak ada alat medis lain yang di lepaskan. Kondisinya masih perlu dipantau.

"besok pagi, Prof. Eko yang visit ya, Bu. Mungkin perlu ada pemeriksaan lanjutan dan lain hal. Saat ini kondisi pasien udah lebih stabil. Mudah-mudahan nggak drop lagi."

"terimakasih, Dokter." Ujar Ivanny tulus.

"barusan saya kasih obat biar pasien bisa kembali istirahat. Nanti jangan banyak diajak ngobrol dulu ya. Soalnya tenggorokannya pasti masih kerasa nggak nyaman."

"iya, Dok... sekali lagi, terimakasih banyak."

Ivanny mengantar dokter dan perawat yang pamit undur keluar seraya bergegas menghubungi suami dan ayahnya untuk mengabari kondisi terbaru Naresh.


-----


Masih pukul lima pagi saat Naresh membuka mata dan menatap ke arah langit-langit ruangan yang asing. Beberapa kali pemuda itu mengerjap untuk mengurangi sensasi perih di tenggorokannya juga perasaan mual yang bergejolak di perutnya. Menyadari ada infus yang menggantung di sisi kiri berdampingan dengan beberapa alat medis yang tidak di ketahui fungsinya, tidak sulit untuk menebak bahwa dirinya kini berada di rumah sakit. Saat kepalanya menoleh sedikit ke arah kanan, ia mendapati wajah Jevano yang rebah kelelahan di bednya. Tertidur sambil duduk bukanlah sesuatu yang nyaman. Tapi Jeno nampak damai dalam lelapnya.

Naresh mengambil napas dengan sedikit kepayahan. Kepalanya dipaksa mengingat tentang apa yang terjadi terakhir kali. Lalu memori terakhirnya hanya tentang ia jatuh tak sadarkan diri ketika lomba dan tubuhnya di angkut Jehian serta Om Agung. Tapi jika sekarang ada Jevano yang menungguinya, kemungkinan besar keluarganya yang lain sudah tau tentang keadaannya. Masalahnya, seberapa banyak mereka tau tentang kondisinya masih menjadi pertanyaan.

Pintu terbuka dan menampilkan wajah Ivanny membuat Naresh refleks mengangkat tangannya yang ditusuk jarum infus agar Budenya itu tidak membuat keributan yang bisa menyebabkan Jevano terusik. Terpaksa, karena tangannya yang bebas berada dalam genggaman Jevano.

"how's your feeling, Na?" tanya Ivanny dengan suara yang sungguh lembut, "perlu Bude panggil dokter?"

Naresh menggeleng. "I'm okay." Tuturnya serak. Matanya nampak berair karena menahan perih yang menyerang tenggorokan dan perasaan ingin muntah.

HOPE || Na JaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang