03

5.9K 622 16
                                    

Sekali lagi Naresh ingin menertawakan hidupnya.

Kelahirannya bukan hasil munajat penuh cinta dan harap dari kedua orang tuanya. Selama hampir tujuh belas tahun hidupnya, Naresh tak pernah mengenal siapa bapak kandungnya. Telinganya pun pekak di jejali ucapan bahwa ia adalah aib bagi sang ibu. Kehadirannya tidak diinginkan. Bencana. Penghambat masa depan.

Naresh sudah kenyang dibully orang-orang suci diluar sana saat mereka tau bagaimana latar belakangnya. Bagaimana Naresh kecil terluka ditinggal sendirian di area taman bermain kompleks saat para orang dewasa itu menarik anak-anak mereka untuk menjaga jarak dari Naresh. Naresh berkawan akrab dengan perasaan tertolak semacam itu, meski semua itu tidak pernah membuatnya terbiasa.

Sebenarnya, masih ada Kakek dan kerabat lainnya menerima kehadirannya. Membiayai kehidupan dan pendidikannya. Bahkan sampai Naresh merasa mampu untuk mencari uang sendiri, mereka masih rutin mengiriminya uang. Meski begitu, Naresh merasa bahwa dirinya harus lebih tahu diri untuk tak lagi menjadi beban di keluarga terpandang itu. Tak seperti sang ibu yang menendangnya menjauh saat mengetahui janin di rahimnya telah lahir dan hidup, keluarga besarnya yang lain menunjukkan kepedulian mereka pada Naresh dengan perasaan tulus.

Naresh harusnya bersyukur, kan?

Setidaknya dia tidak sendirian di dunia yang penuh kamuflase ini. Ada kakek untuknya bersandar. Ada paman dan bibinya yang bersedia menjadi pengganti orang tua untuk Naresh. Bahkan Ayah Yus yang merupakan ayah sambungnya saja selalu menaruh perhatian padanya. Tapi diantara semua orang baik itu, Naresh kehilangan hal paling penting. Kasih sayang dan doa tulus dari seorang ibu.

Doa paling tulus dari ibunya yang pernah Naresh dengar hanyalah berharap Naresh menarik langkah untuk menjauh dari hidup perempuan itu. Dia berharap Naresh hilang dari pandangan.

Helaan napas terdengar.

Naresh melepas jas mahal yang sebelumnya ia kenakan dan menyampirkannya di kapstok. Mengganti pakaiannya dengan kaos longgar yang lebih nyaman beserta celana training abu abu.

Kepalanya mendadak pusing dan perutnya bergolak mual. Naresh bahkan meneguk liurnya susah payah untuk menahan muntah. Rasanya bumi tempatnya berpijak bergoyang hebat seperti roller coaster.

Gempa?

Naresh tertawa kecut saat menyadari bahwa tubuhnya pun ngajak ribut.

Biasanya, jika gejala tidak nyaman mulai menyerang badan, manusia normal akan bergegas meminum obat dan mengistirahatkan tubuh. Tapi Naresh berbeda. Apalagi ketika menatap jam di meja nakas sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Pemuda itu mempercepat gerakannya. Mengambil jaket untuk segera pergi ke tempat ia bekerja paruh waktu. Meminum obat bisa menyebabkan kantuk. Dan ia tidak punya waktu untuk tertidur -atau uang-uang yang harusnya menjadi miliknya takkan sempat mampir ke dompet lusuhnya.

----

"Na... nanti sayuran yang dari mobil bak itu di turunin dulu semua, ya! Ada pesanan dari Bu Hajjah Wandah buat warung makannya. Biar di wadahin dulu. Nanti anak buahnya mau ngambil." Suara cempreng Mak Haji Suha -pemilik warung sayur di pasar induk ini terdengar hingga ke ujung lorong pertokoan.

Naresh berteriak mengiyakan. Ia bersama Babeh Rahmadi -anak tertua Mak Haji masih menurunkan barang dari mobil milik distributor sayur itu. Menata beberapa karung mentimun dan wortel untuk diangkut.

HOPE || Na JaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang