04

5.8K 639 9
                                    

Jehian rupanya tidak membawa Naresh ke klinik seperti niatan awal. Naresh malah dibawa ke salah satu rumah sakit ternama dengan fasilitas yang tidak main-main. Naresh sudah akan menolak saat Jehian menyebutkan tujuan mereka ketika dalam taksi. Namun ia tidak punya tenaga untuk mendebat atasannya itu.

Naresh masih sadar saat turun dari taksi dan beberapa perawat merebahkannya diatas blankar untuk membawanya ke IGD. Naresh juga masih memiliki kesadarannya saat dokter piket IGD menempelkan kepala stetoskopnya pada dadanya. Netranya mampu menangkap gerak mulut sang dokter, perawat atau bahkan Bang Jehian, namun tidak satupun kata mampu ia dengar dari mereka. Telinganya masih berdenging. Kepalanya pun serasa dihantam batu. Mungkin karena ia terlalu fokus dengan sesak dan sakit yang menyerang dadanya, atau memang karena sesuatu yang buruk terjadi dengan kepalanya sehingga ia tidak mendengar apapun.

"sa -khit." Naresh melenguh. Memiringkan tubuhnya untuk menekan dadanya yang terus menerus dilanda nyeri luar biasa.

"Ma... eungh... tolong. Ma..." Lirihnya sebelum sadarnya direnggut paksa oleh gelap.

--------

"tutup lebih awal aja, Yon..." ujar Jehian pada ponselnya. Memerintahkan Dion dan Yuda untuk menutup café lebih awal dari biasanya. "gak bisa mikir gue. Nanti malah gak jelas kalau sama ngurus café."

'Yaudah, terserah lo wae. Lo dimana, Je? Gue sama Yuda susulin kesana ya?' suara Dion terdengar di ujung sambungan telepon.

Jehian menghela napas. Melirik pada Naresh yang masih memejamkan mata. Mereka masih di IGD untuk menunggu lelaki yang lebih muda itu di pindah ke kamar rawat. "Di RS Mitra. Nana masih belom dapet kamar."

'lah? Jauh banget??? Gue kira kalian ke klinik yang di simpangan depan.' Jelas sekali bahwa Dion terdengar terkejut. 'tunggu deh, kita susulin lo kesana. Sekalian bawa barang-barang Nana.'

"Yon..." suara Jehian terdengar ragu. Ada khawatir dan ketakutan yang coba ia tutupi.

Dion di sebrang sambungan diam. Menunggu Jehian menyambung kalimatnya.

"Hape Nana di loker kan, ya?" tambah pemuda itu. "coba hubungi keluarganya dong..."

'kenapa? Ada masalah sama administrasi?'

"dokter minta buat pemeriksaan lanjutan. Butuh tanda tangan wali." Jehian terdengar tak yakin. "kalau gue yang tanda tangan, boleh nggak sih?"

Sambungan telepon itu sunyi untuk satu putaran detik penuh. Berpikir dalam ragu.

'ada yang serius?'

Dion bisa mendengar Jehian terisak meski pelan.

"gue mesti gimana, Yon...? Gemeteran banget gue sekarang."

'tunggu!' -suara Yuda menyela dari seberang sambungan. 'gue sama Dion ke Mitra sekarang. Kabari kalau Nana udah di pindahin ke ruang rawat!'

Jehian hanya berdehem mengiyakan. Sambungan diputus tanpa salam. Pria dengan lesung pipi itu luruh ke lantai. Jatuh seraya menahan tangis dalam kebingungan.

-----

Naresh menatap nyala bola lampu yang bersinar terang. Mengerjap beberapa kali untuk mendapatkan fokusnya kembali. Lalu ia melirik ke kiri dan kanannya. Semuanya terturup tirai tinggi. Lalu kemudian ia merasakan ada embus hawa dingin di kedua lubang hidungnya.

Ah... hidung bangir itu rupanya perlu dijejali nasal cannula agar bisa mendapatkan oksigen dengan baik.

Berapa lama gue tidur? Belom kasih kabar Mak Haji kalau hari ini gak bisa bantuin di lapak -dan itulah pikiran pertama yang secara spontan melintas pertama kali di kepanya.

HOPE || Na JaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang