18

4.3K 480 24
                                    

Saat Naresh membuka mata, ia mendapati ada Agung di tepi pembaringannya. Memijat pelan jemari Naresh yang terbebas dari infus. Wajahnya nampak lebih teduh dan menua dari yang terakhir kali Naresh ingat. Ah, padahal Agung baru berkunjung minggu lalu. Apa kiranya yang membuat kerutan di dahi itu bertambah banyak hanya dalam waktu tujuh hari?

"hai... selamat pagi..." sapa Agung dengan senyum manis. Ada dua dimple yang nampak diantara senyum menawan pria paruh baya itu.

"pagi... Om Agung." Balas Naresh serak. Suara paraunya bukan semata-mata karena bangun tidur. Sakit tenggorokan juga agaknya ikut andil membuat suaranya terdengar seperti kodok. Pemuda itu mengerjap seraya menyesuaikan cahaya yang mendobrak retina matanya. Sadarnya belum utuh. "jam berapa, sih? Kok Om Agung udah disini?"

"jam delapan. Kenapa?"

"belum jam besuk." Jawab Naresh seadanya sambil menggeliat tak nyaman karena punggungnya terasa pegal.

"Om jaga. Gantiin kakekmu." Ujar Agung dengan tenang. Pria paruh baya itu membenarkan letak bantal dan bed Naresh agar lebih nyaman. "cukup?"

Naresh mengangguk, "makasih, Om..." pemuda itu tersenyum dengan bibir pucat dan kering. Ada bagian bibirnya yang sedikit mengelupas disana.

"badewey, kok bisa gantiin Kakek?"

"hehehe... saya mau bertemu kamu. Tapi khawatir saat saya datang kamu sedang terapi atau pemeriksaan rutin seperti minggu lalu. Makanya semalam saya telepon Pak Muliyono untuk izin menjenguk sekalian tanya jadwal."

Naresh mengangguk so' paham, "jadwalku di geser siang sih."

"makanya saya datang pagi. Dan ada untungnya juga saya datang pagi, karena ternyata keluargamu sedang ada keperluan. Makanya saya dapet free pass punya kakekmu, jadi saya bisa masuk meski belum jam besuk. "

"kenapa nggak sore aja? Nana juga nggak sendirian kok, biasanya kalau semuanya lagi pada sibuk, ada perawat yang jagain."

"lah, bukannya lebih enak kalau yang menemani kamu orang yang kamu kenal? Kan jadi bisa ngobrol." Ujar Agung, "lagian kalau saya datang sore, kamu pasti baru selesai terapi dan pemeriksaan. Saya nggak mau ganggu waktu istirahat kamu."

Mendengar itu, Naresh tersenyum. "duh, Om Agung pengertian banget sih, kayak pacar."

Agung menaikkan alisnya mendengar penuturan Naresh. "kayak yang sudah pernah pacaran aja."

Naresh mencebik mendengar itu. Rasanya kalimat Agung barusan mengingatkan Naresh tentang masa mudanya yang menyedihkan.

Eh, tidak! Tidak boleh berpikir begitu. Setiap kehidupan itu anugerah Tuhan -semelelahkan apapun itu.

"everything will be better. Kelak, Nana juga akan bertemu dengan seseorang yang menerimamu dengan utuh." Ujar Agung lagi saat melihat Naresh nampak melamun.

"sempet nggak ya Om?"

"tentu sempet. Kenapa enggak?"

"aku..."

"kalau Nana sembuh, nanti kita nongkrong di café Jey lagi ya? Om ajarin desain gambar seperti yang kamu pengen waktu itu. Kamu mau desain rumahmu sendiri, kan?" Agung mengalihkan perhatian saat menangkap wajah sendu Naresh yang lama mendulang jeda. "Om juga kangen sama kopi rekomendasimu itu."

"yang bikin kan Bang Dion... Om minta aja sama Bang Dion"

"rasanya beda..."suara Agung mengawang.

"mungkin karena Nana nggak disana kali ya?" Naresh berujar narsis, tapi Agung nampak mengangguki itu.

"okedeh, kalau gitu, nanti pas Nana udah sehat, kita ngopi ganteng di café nya Bang Jey, ya?"

Lagi lagi Agung mengangguk.

HOPE || Na JaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang