20

5.5K 503 19
                                    

Fajar belum tegak menyingsing. Menyisakan semburat merah yang masih malu-malu di ufuk timur langit Jakarta. Sebuah keajaiban ketika Naresh sudah membuka mata di pagi hari; padahal biasanya Naresh baru membuka mata ketika matahari sudah sepenggalah naik. Pemuda itu menggeliat sedikit untuk menyamankan posisi, dan mendapati Kakeknya masih tertidur dengan kepala menelungkup di sisi bed Naresh. Setelan ranjang yang diatur meninggi itu membuatnya bisa dengan mudah melirik ke arah Kakeknya yang tertidur ataupun nakas. Kamar rawatnya nampak sepi. Sepertinya memang hanya Kakek yang berjaga, karena orang-orang yang menjenguknya kemarin sudah pulang ketika jam besuk habis.

Berkali-kali Naresh lihat ponsel Kakeknya yang berada di meja nakas itu berkedip. Tanda bahwa ada sambungan telepon masuk. Namun deringnya yang di senyapkan itu membuat Kakek tak terganggu sama sekali. Tapi Naresh yang penasaran mengintip untuk melihat ID si pemanggil. Nama Yusril yang tertera di layar ponsel itu memantik rasa penasaran Naresh. Untuk apa ayahnya menelepon sepagi ini?

Jadi, dengan keberanian dan sedikit kekurang-ajaran, Naresh bergerak susah payah meraih ponsel di nakas. Menggeser ikon berwarna hijau untuk menerima panggilan.

"Halo, Pa... Sorry, Yus ganggu waktunya pagi-pagi gini." Suara Yusril di seberang sambungan terdengar parau dan penuh khawatir. Membuat Naresh menerka-nerka apakah kiranya keperluan sang ayah sepagian ini.

Naresh baru saja berdehem. Berniat memperbaiki tenggorokannya yang terasa gatal terlebih dahulu sebelum memberitahu Yusril bahwa bukan Kakek yang mengangkat panggilan tersebut. Namun suara sang ayah itu kembali menyela,

"Kenzie kolaps, Pa..." kabar yang diberikan sang ayah itu membuat Naresh melemas. "sekarang di ICU -belum sadar..."

"Ayah..." Naresh berujar susah payah. Tenggorokanya tercekat dan napasnya mulai memberat. Kabar ini mempengaruhi kondisinya dengan cepat, rupanya.

"Nana?" oh, di seberang sambungan sana Yusril terkejut mendengar suara Naresh yang kepayahan.

"Ayah... Ken... gapapa?"

"Kakek mana, Na?"

"jawab Nana dulu, Yah!"

"Ken gapapa." Ujar Yusril kemudian. Naresh bisa menangkap banyak getar keraguan dari nada suara ayahnya itu. dan Naresh sadar, situasi Kenzie tidak cukup baik.

Sepertinya perpaduan antara suara Naresh dan pergerakan pemuda itu baru mengusik sang Kakek. Hingga pria sepuh itu mengerjap beberapa kali untuk mendapatkan fokus dan kesadarannya. Naresh meringis kecil saat menyadari kakeknya sudah terjaga. Mengembalikan ponselnya sambil berbisik pelan untuk memberi tahu siapa yang menelepon.
Kakek menerima telepon itu seraya pamit keluar kamar rawat agar percakapannya tidak mengganggu Naresh.

Naresh tersenyum miris diatas bed nya. Sepertinya, jika ia tidak secara kebetulan mengangkat panggilan dari ayahnya pagi ini, agaknya Naresh tidak akan diberitahu perihal kondisi Kenzie saat ini. Mungkin esok hari, Naresh perlu bangun lebih pagi agar tidak terlalu sering melewatkan hal penting.


----


Tidak ada yang bisa menolak ketika Naresh berkata bahwa ia akan ikut melihat Kenzie di rumah sakit.
Maka dengan persetujuan professor Eko, Naresh diizinkan keluar sebentar usai selesai dengan makanan dan obat-obatan yang harus diberikan melalui feeding tube itu.

"aku masih sanggup jalan." Tolak Naresh saat Professor Eko memberikannya izin dengan syarat mengunakan kursi roda dan tetap menggunakan nasal kanul (tentu saja dengan membawa oksigen portabelnya). Ingatkan bahwa Naresh memang belum sepenuhnya lumpuh, tapi kaki-kakinya tidak mampu menopang bobot tubunya terlalu lama.

HOPE || Na JaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang