Hari ini, Agung sengaja mendatangi ruang kerja Eko setelah jam praktek untuk pemeriksaan pasien rawat jalan itu habis. Menunggu dengan setengah memaksa, bahkan tidak mau mengangkat bokongnya barang satu inch pun dari kursi di ruangan itu. Demi Tuhan! Eko sampai jengah melihat tingkah menyebalkan Agung yang tak ubahnya anak TK. Tujuannya hanya satu; ingin mendapatkan info sedetail apapun tentang Naresh.
Jadi, dengan berat hati, Eko menyetujui ajakan Agung untuk keluar usai menghubungi seseorang. Mereka pergi ke salah satu coffee shop di dekat rumah sakit sambil menikmati sumpeknya jalanan Jakarta yang sibuk beradu klakson di tengah hari bolong.
"kau sangat tidak punya kerjaan sampai bisa merecoki aku di tengah hari begini?" sindir Eko. Menyesap lychee squash nya dengan kasar. Bosan sekali setelah hampir sepuluh menit mereka hanya duduk diam tanpa suara sambil membiarkan waktu berlalu dengan percuma. Professor satu ini punya banyak pekerjaan, ngomong-ngomong.
Agung menatap cangkir kopinya yang mulai sejuk. Uap panas sudah tak lagi nampak. Namun keinginannya untuk menyesap kopi itu telah menguap. "kau tau jelas tujuanku untuk berbicara denganmu, kan?"
"Naresh lagi?"
"ya..."
"kenapa?" tanya Eko penasaran. Sejak Naresh dibawa ke rumah sakit beberapa hari lalu, Agung terus menerornya untuk mendapatkan informasi detail tentang kondisi Naresh yang sesungguhnya. Namun Eko masih belum mendapatkan benang merahnya. Kenapa Agung perlu tau?
"Naresh adalah karyawan putraku. Bukankah aku pernah mengatakannya?"
"lalu kenapa?" Eko sekali lagi tak habis pikir, "dia sakit. Ya sudah... kenapa kau sibuk sekali ingin tau detail sakitnya? Kau bukan walinya, Agung. Aku tidak berhak membagikan informasi rekam medis pasienku kepada orang asing tanpa persetujuan pasien atau walinya."
Agung menggigit bagian dalam mulutnya. "karena...."
"karena?" Eko menunggu sambil membeo.
"dia putra Yoana."
Sebelah alis Eko menukik, "terus?"
"aku... perlu mengkonfirmasi sesuatu..."
"Apa?" Eko justru khawatir dengan apa yang akan didengarnya. Tiba-tiba ia teringat dengan Dimas yang dulu nyaris setiap bertemu selalu bertanya mengenai keberadaan Agung. Pun tentang kasus Yoana yang simpang siur di tahun terakhir kuliahnya dulu.
"aku perlu memastikan, apakah Naresh... adalah darah dagingku, atau bukan!"
Eko berdecak kaget, "jadi rumor itu.... benar?"
"ya..." erat, pria paruh baya itu memejamkan mata. Menikmati bagaimana takdir mempermainkan hidup dan perasaannya.
Janin yang dahulu ditolak dengan mudahnya, kini menjadi penyesalan dan sumber rasa bersalah paling dalam di hidupnya.
"Jehian bilang, Naresh punya symptom yang sama seperti mendiang Papi."
"maksudmu?"
"alasanku ke Amerika waktu itu -karena Papi meninggal setelah berjuang cukup lama melawan ALS dan terkena komplikasi sebelum meninggal. Aku perlu memastikan bahwa aku bukan carrier yang membawa gen sialan itu untuk anakku, Eko."
"so, it's genetic?" Muliyono Salim disana. Berdiri diantara dua pria paruh baya yang sedang berbicang. Menampilkan air muka yang kecut dan tawa masam.
"Pak Mul..." Eko cukup terkejut dengan kehadiran pria sepuh itu yang langkahnya tanpa suara. Atau mungkin karena Eko terlalu fokus dengan penuturan Agung hingga tak memperhatikan sekitar. Padahal ia sudah tau bahwa Muliyono Salim akan datang karena ia sendiri yang mengundangnya. Eko tidak mungkin membicarakan kondisi pasiennya pada orang lain tanpa persetujuan wali sah pasien.

KAMU SEDANG MEMBACA
HOPE || Na Jaemin
FanfictionTuhan, Terimakasih telah memberikan kesempatanku untuk bernapas hingga hari ini. Terimakasih telah mengelilingiku dengan orang orang baik. Terimakasih untuk segala hal. Tuhan, setelah semuanya yang Kau beri, bolehkah aku bersikap tidak tau diri un...