Disfagia.
Itu yang professor Eko katakan terkait kondisi Naresh di antara petang yang berwarna jingga. Dan sesungguhnya, kondisi seperti ini sudah di prediksi sebelumnya. Hanya saja, tidak ada yang menyangka bahwa kondisi itu akan datang secepat ini. Professor Eko menawarkan opsi pemasangan selang bantu makan untuk Naresh demi menghindari resiko malnutrisi. Tapi Naresh agak menolak. Mempertanyakan akan berapa banyak selang dan kabel yang akan tim dokter pasangkan ke tubuh ringkihnya seiring dengan kian melemahnya tubuh itu. Pemuda itu menangis dan menggenggam erat siapapun yang ada di dekatnya dengan perasaan ketakutan.
Jevano masih merasakan jantungnya berdegup kencang dan kesepuluh jemarinya tremor. Pemuda itu menyembunyikan diri di sudut ruangan area tunggu dengan pandangan kacau. Beruntung, kakek dan kedua orang tuanya lekas datang saat dikabari bahwa kondisi Naresh ngedrop. Setidaknya, sekarang Jevano tidak sendirian menghadapi ketakutan ini.
"maafin Jeno, Ma..." lirih Jevano seraya menangis. "harusnya tadi aku lebih hati-hati..."
Ivanny menggeleng. Memeluk putra tunggalnya dengan penuh kelembutan, "bukan salah kamu, sayang..."
"Nana..."
"bukan... bukan salah Jeno... kondisinya Nana memang... sedang tidak baik."
Jevano melesakkan wajahnya pada pelukan sang ibu. Mencari pertolongan bahwa ia merasa bersalah telah ceroboh dan mengakibatkan kondisi sepupunya yang kembali memburuk.
"makasih ya, anak Mama ini tetep tenang dan tanggap untuk panggil dokter dan perawat. Mama tau, pasti tadi Jeno panik banget. Maaf Mama nggak nemenin Jeno sampai bikin anak Mama ketakutan seperti ini." Ivanny menangis. Merasa bersalah pada putranya juga keponakannya.
"Nana... gapapa kan, Ma?"
Ivanny mengangguk. "Nana pasti bakal cepet sehat lagi. Jeno berdoa sama Tuhan ya. Biar Tuhan kasih kemudahan buat pengobatan Nana. Biar Tuhan kasih kita kelapangan hati dan kekuatan untuk jaga Nana selalu. God is good. Tuhan Maha Tau, Maha Melihat dan Mendengar semua doa tulus umatnya."
Jevano mengangguk paham.
"Nana pasti akan menjadi lebih kuat dari hari ke hari." Ujar Ivanny lagi.
"he also more fragile than we ever know." Lirih Jevano dengan suara mengawang di udara.
Pelukan ibu dan anak itu di interupsi oleh kakek Muliyono yang sedari tadi menunggui Naresh di sisi bed.
"Nana cari kamu, Jen." Ujar sang Kakek. Bola matanya berkaca menahan lelehan air mata.
"Is he... okay?"
"better." Kakek tua itu memeluk Jevano sejenak. Berbagi sisa-sisa kekuatan untuk melenyapkan ketakutan yang sama-sama mereka miliki. "don't worry too much. He will be okay."
Jevano mengangguk sebelum akhirnya berlalu untuk menghampiri Naresh yang berbaring di bed. Menatap sepupunya yang lunglai diatas pembaringan. Wajah kuyu pucat kelelahan yang berbalut masker oksigen yang menutup sepertiga wajah tirusnya. Desis udara terdengar dari balik masker oksigen itu; namun Naresh tetap nampak bernapas dengan sangat kepayahan.
"Na..." Jevano ternyata masih belum bisa mengendalikan emosinya. Suaranya masih terdengar bergetar saat ia menghampiri Naresh dan menggenggam jemari sepupunya yang masih basah oleh keringat.
Naresh menatap sepupunya dengan senyum tipis. Menyadari bahwa tangannya digenggam Jevano, Naresh membalasnya dengan lebih erat. "gue ngga papa, Jeno." Lirih Naresh. "maaf ya bikin kaget."
Jevano menggeleng ribut, "maaf... harusnya tadi gue lebih hati-hati. Maaf Na..."
"hey... gue nggak papa, kok. Nih, masih disini." Naresh tertawa kecil.
![](https://img.wattpad.com/cover/263126462-288-k889932.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
HOPE || Na Jaemin
FanfictionTuhan, Terimakasih telah memberikan kesempatanku untuk bernapas hingga hari ini. Terimakasih telah mengelilingiku dengan orang orang baik. Terimakasih untuk segala hal. Tuhan, setelah semuanya yang Kau beri, bolehkah aku bersikap tidak tau diri un...