Entah sudah berapa tarikh masa berlalu. Kondisi Naresh belum ada progress berarti. Syukurnya tidak menjadi lebih buruk pula. Tidak lagi collapse atau gagal napas seperti beberapa minggu lalu, ataupun keluhan tambahan. Hanya saja, selang NGT dan alat bantu oksigen masih tetap di pakai karena memang tubuh pemuda enam belas tahun itu membutuhkannya.
Dan ini keempat kalinya Ivanny mengambil ballpoint Naresh yang terjatuh dan memberikannya pada anak itu. Menyelipkannya diantara jemari tangan kiri yang tertancap jarum infus, -karena tangan kanannya sudah mati rasa sejak tadi. Di samping laptopnya, tersimpan sebuah ponsel untuk merekam penjelasan guru pada layar virtual. Ivanny tersenyum menenangkan sambil memijat pelan kaki Naresh di balik selimut, saat tatapan Naresh menyiratkan penuh rasa bersalah dan permintaan maaf.
Naresh sedang mengikuti sekolah daring setelah beberapa hari kemarin ia absen karena jadwal fisioterapinya (sejujurnya, naresh tidak mengerti kenapa ia perlu menjalani fisioterapi, karena pada kenyataannya kelumpuhannya adalah sebuah kepastian. Tapi ia tidak mau mendebat Kakek; karena Naresh tidak punya cukup tenaga untuk berargumentasi). Gurunya masih memberikan materi untuk mata pelajaran produktif -yang mana seharusnya ia praktekan di Lab komputer. Tapi karena keadaannya yang seperti ini, Naresh harus berpuas hati hanya mendengarkan dan mempraktekkannya sendiri nanti.
Gambar microphone tersilang pada layar laptopnya Naresh klik -untuk mengaktifkan kembali fungsi microphone itu. Pemuda itu mengajukan pertanyaannya pada sang guru. Mata pelajaran yang membahas rancang bangunan itu selalu berhasil menarik minat Naresh. Mereka terlibat diskusi menyenangkan untuk materi pelajaran hari ini.
"kamu sehat, Nak?" pria paruh baya pengampu mata pelajaran produktif itu bertanya di akhir sesi pertemuan pembelajaran mereka. Dari layar, Naresh bisa jelas melihat bahwa guru yang selalu menjelaskan banyak hal padanya sejak ia duduk di kelas sepuluh itu tengah memasang wajah khawatir.
Naresh tersenyum kecil, "cukup baik, untuk nggak absen kelas bapak lagi seperti beberapa hari lalu."
Naresh sadar, bahwa kondisinya kerap kali menjadi perhatian banyak guru juga teman-temannya di sekolah. Bahkan ada beberapa guru yang bertanya melalui pesan pribadi usai memberikan rentetan tugas, seraya berkata bahwa Naresh tidak perlu terburu untuk submit tugas jika kondisi kesehatannya memang tidak memungkinkan. Dan Naresh tidak merasa senang karena di istimewakan seperti itu.
Ngomong-ngomong, sejak sakit memang Naresh jadi begitu sensitif tiap ditanya kabar. Apalagi ketika nasal kanul dan selang NGT seolah telah menjadi anggota tubuh Naresh yang baru. Rasanya seperti ditatap dengan penuh rasa kasihan oleh orang-orang. Jadi, Naresh selalu me-nonaktif-kan kameranya setiap kali ikut kelas daring maupun menerima panggilan video dari teman-temannya. Enggan menerima banyak tatapan khawatir yang membuatnya lemah dari hari ke hari.
"lekas kembali ke sekolah, Naresh." Ujar pria paruh baya berkumis tipis itu, "Pak Sapta kayaknya punya banyak proyek kejuaraan, tapi tanpa kamu, jadi nggak ada yang bisa di andalkan."
"bapak nih, bisa aja. Hehhee... tapi doain saya terus ya, Pak... mudah-mudahan pengobatannya cepet selesai."
"saya doakan yang terbaik untukmu, Naresh."
Lalu kelas daring itu di tutup usai mengucapkan pamit.
Naresh meraih ponselnya untuk menyimpan rekaman pembelajaran hari ini. Lalu menatap Ivanny yang masih setia disisi bed nya menemaninya belajar sedari tadi.
"makasih ya, Bude..."
"kembali kasih." Kata Ivanny dengan senyum manis.
"maaf ngerepotin terus." Ujar Naresh.
Ah, sudah dibilang, semenjak sakit Naresh memang jadi lebih sensitive. Lebih sering minta maaf dan berterimakasih. Lebih sering menangis juga -meski diam-diam.
KAMU SEDANG MEMBACA
HOPE || Na Jaemin
FanfictionTuhan, Terimakasih telah memberikan kesempatanku untuk bernapas hingga hari ini. Terimakasih telah mengelilingiku dengan orang orang baik. Terimakasih untuk segala hal. Tuhan, setelah semuanya yang Kau beri, bolehkah aku bersikap tidak tau diri un...