21

5.2K 532 9
                                    

Dua hari ini Naresh benar-benar memforsir tenaganya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Dua hari ini Naresh benar-benar memforsir tenaganya. Setiap kali tubuhnya bisa diajak bekerja sama, Naresh pasti akan fokus pada maketnya. Jemari kurusnya itu akan terus berkutat pada lem kayu dan beberapa material lain untuk membentuk bagian dari rumah-rumahan yang Naresh buat. Malam kemarin, bahkan Naresh sempat begadang untuk membuat cetak biru gambar bangunan yang ia inginkan melalui aplikasi komputer -meski paginya Naresh langsung kolaps. Efek kelelahan. Lalu, karena terjadi iritasi karena pemakaian selang nasogastric terus menerus, selang NGT itu diganti dengan selang PEG dengan sedikit melubangi area perut.

Agung masih setia menemani Naresh membuat desain rumah impian. Bahkan pria paruh baya itu sempat izin pada Muliyono Salim untuk diizinkan menjaga Naresh seharian penuh. Meninggalkan pekerjaannya sendiri pada beberapa orang kepercayaannya di perusahaan. Beruntung, pria itu diizinkan. Jevano tentu masih datang ke kamar rawat Naresh disela kesibukannya sekolah. Sedangkan keluarga Muliyono Salim yang lain lebih terfokus pada kondisi Kenzie yang belum mengalami kemajuan berarti setelah tiga hari di ICU.

"istirahat... sebentar lagi perawat pasti datang karena sudah jadwalmu minum obat." tegur Agung saat melihat Naresh masih sibuk menempelkan rumput-rumputan sebagai bagian dari halaman dari maket yang ia buat.

"bentar dulu, Om... tanggung."

"ngoyo banget sih.... Kan masih dua minggu lagi. Masih banyak waktu."

"biar nggak kepikiran terus. Kalau udah selesai kan tinggal kirim."

Naresh berujar sambil tersenyum tipis. Banyak waktu agaknya hanya milik mereka yang sehat. Dihadapkan dengan keadaan menyedihkan seperti ini seringkali membuat Naresh berfikir bahwa waktu yang ia miliki sangat terbatas.

Astaga... padahal umur kan rahasia Tuhan!

"ya tapi nggak bikin kamu mesti begadang terus-terusan sampai anfal kayak begini, kan?"

Setelah sekian lama, Naresh mimisan lagi dengan sangat banyak saat kondisinya menurun kemarin. Wajah Naresh lebih pucat dari hari ke hari. Dengan rahang yang jelas kian tirus. Bobot badannya pun turun drastis -seolah upaya dokter selama ini memang tak berhasil. Kemarin saat kolaps, perawat bahkan kesulitan karena harus berkali kali mencari pembuluh darah yang bisa dijejali jarum infus karena Naresh benar-benar definisi tulang berbungkus kulit.

"aku oke kok Om... meski kadang berasa sesek sama kepala puyeng, tapi hati aku happy banget ngerjain beginian. Jadi nggak kerasa kalau udah ngerjain ini kelamaan."

"Om bisa bantu..."

Naresh menggeleng. "Om udah bantuin Nana buat rendering gambarnya. Kalau maketnya Om bantu juga, jadinya yang hasil karya Nana yang mana?"

Agung menaikkan alis, "kan Om cuma bantu. Selebihnya kan kamu yang ngerjain. Desain juga kamu, kan?"

"no... no... pokoknya, kalau maketnya mau Nana sendiri yang buat." Tolak Naresh tegas.

Agung memperhatikan maket yang Naresh buat, mencocokkannya dengan desain autocad yang sudah jadi. Ada banyak ruang dalam gambar desain yang Naresh buat. Rumah dua lantai dengan tujuh kamar, satu ruang kerja yang mengadap ke area taman, ruang keluarga yang di loss bersama ruang tamu lalu dapur dan ruang makan yang hanya disekat meja bar. Agung sempat ingin menyela karena Naresh terlalu banyak membuat kamar tapi Naresh bilang itu rumah impiannya. Rumahnya kelak akan jadi seperti villa untuk keluarga Salim berkumpul.

"harusnya enam kamar pun cukup, Na. Jadi space untuk area berkumpul akan lebih luas."

Tapi Naresh menggeleng. "satu untuk Mama-Ayah, lalu Kenzie, Bude-Pakde, dan Jevano, Kakek, aku, dan satu lagi untuk tamu, -barangkali Om Agung mau menginap selesai kita diskusi soal gambar di ruang kerja."

"ou, thanks... Om jadi terharu karena sudah dihitung." Agung tertawa. Pun dengan Naresh.

"Cuma gini mah gampang, Om... nggak disuruh bikin beneran, kan? Soalnya kalau bikin beneran, tanahnya gaada. Lagian saya nggak punya duit."

"kamu berbakat sekali deh kayaknya soal beginian... kuliah nanti, kalau kamu masuk arsi, pasti bakal jadi manusia kesayangan dosen karena project studio mu keren-keren."

Naresh terkekeh kecil seraya memulas beberapa area maketnya dengan cat. Maketnya nyaris selesai. "saya masuk DPIB justru karena nggak kepikiran kuliah loh, Om..."

"kenapa?"

"ya... kemarin kan saya sekolah biaya sendiri. Saya mikirnya, jurusan apa ya yang abis lulus bisa langsung kerja... jadi ya saya pikir, mau jadi kuli bangunan professional aja. Mana saya tau ternyata pas masuk jurusan ini ada desain interior sama perhitungan biaya untuk pengerjaan bangunan juga. Bekel buat jadi mandor proyek." Penjelasan panjang lebar itu membuat Naresh terbatuk kecil.

Agung memegang bahu Naresh dan mengusapnya pelan. "alarm tubuhmu, itu... stop dulu ngerjain maketnya. Nanti mulai lagi kalau sudah istirahat."

"tadi cuma keselek, Om..." elak Naresh. Tapi tubuhnya tidak mau diajak kompromi karena batuk yang terus terdengar.

Tanpa banyak kata, Agung menyingkirkan maket buatan Naresh itu ke sudut ruangan. Membereskan peralatan yang tersisa dan membantu Naresh berbaring dengan nyaman. Agung menatapi pemuda itu dengan pandangan sedih.

"jangan memaksakan diri, Nana..." ujar Agung, "saya janji sama Kakek kamu untuk jaga kamu hari ini. Saya nggak mau kamu anfal lagi."

Naresh mengerjap. Merasakan tarikan napasnya yang memberat, "no much time left... aku mesti menyelesaikan apa yang bisa aku selesaikan.

-terimakasih, Om sudah mau bantu aku..." sambung Naresh, sebelum tarikan napasnya tercekat dan mimisan mengotori nasal kanul yang digunakannya.


-----


Tiga hari, kondisi Naresh terus memburuk. Fungsi paru terus melemah dan sel darah merah Naresh yang drop membuat pemuda itu perlu menerima transfusi. Kesadarannya timbul tenggelam -dan selama tiga hari ini, Naresh tidak pernah benar-benar membuka mata. Pemuda itu hanya terbaring dari hari ke hari, dengan segala raut kelelahan yang tercetak jelas di wajah tirusnya.

Kabar memburuknya Naresh justru beriring kabar bahagia -dimana Kenzie sudah sadar, bahkan bisa dipindahkan ke ruang rawat. Remaja itu bahkan sempat menanyakan keberadaan Naresh karena tak kunjung menjenguk. Yang tentu saja di jawab dengan berbagai alasan -termasuk sibuk sekolah, serta jarak Bekasi dan Jakarta yang cukup jauh untuk ditempuh. Padahal, Naresh sendiri sedang berjuang untuk hidupnya.

Sampai hari itu tiba. Dimana Naresh sadar seutuhnya, dalam kondisi yang tidak sepenuhnya stabil. Menatap Nanar pada sang Kakek -yang kebetulan saat itu berjaga.

"mau ketemu Ken, please..." pinta pemuda itu lirih.

"nanti ya. Sehat dulu."

"sebentar aja. Nana mau liat Ken..."

"kondisi Nana belum membaik."

Naresh menggeleng. Menyatakan dengan pasti bahwa kondisinya tidak akan kembali membaik. "Nana punya janji sama Ken..."

"janji apa?"

"basket... Nana janji temenin Ken main basket..."

------

Author note:

Yuk bisa yuk....
Pegangan!!!

HOPE || Na JaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang